Rabu, 11 Mei 2016

TERDAMPAR

 
karya Slawomir Mrozek 
 
     (KEJADIAN INI MERUPAKAN DRAMA SATU BABAK DENGAN SET DEKOR YANG MENGGAMBARKAN SEBUAH GUNDUKAN KARANG DI TENGAH LAUTAN. TIGA ORANG YANG TERDAMPAR DENGAN PAKAIAN CELANA HITAM DAN BAJU PUTIH, LENGKAP DENGAN DASI YANG MASIH TERGANTUNG DI LEHERNYA SERTA SAPUTANGAN YANG MASIH MENONJOL DI SAKU JASNYA. KETIGANYA SEDANG DUDUK DI KURSI. DI SEBELAHNYA TERDAPAT PULA SEBUAH KOPOR YANG BESAR)

GENDUT : Saya lapar.

SEDANG : Sayapun ingin makan.

KURUS : Apakah persediaan makanan telah habis semua?

GENDUT : Seluruh makanan persediaan habis. Tak ada yang tersisa sedikitpun.

KURUS : Saya kira masih ada saus sedikit dan kacang buncis.

GENDUT : Tak ada lagi …

SEDANG : Saya hanya ingin makan sesuatu.

GENDUT : “Sesuatu?” Saudara2ku, kita harus melihat kenyataan. Apa yang kita inginkan sebenarnya merupakan …

KURUS : Kau katakan bahwa persediaan makanan telah habis. Lalu apa yang kau pikirkan?

GENDUT : Apa yang kita makan bukanlah “sesuatu”, tetapi seseorang …

SEDANG : (MELIHAT KE BELAKANG, KE KANAN DAN KE KIRI) Saya tak melihat …

KURUS : Sayapun tak melihat seseorang, kecuali … (TIBA2 BER-HENTI. PAUSE)

GENDUT : Kita harus makan salah seorang di antara kita.

KURUS : (SETUJU DENGAN CEPAT) Baiklah mari kita mulai.

GENDUT : Saudara2, kita bukanlah anak kecil. Ijinkanlah saya menyatakan bahwa kita semuanya tidak dapat serentak berkata: “marilah kita mulai.” Dalam situasi semacam ini, salah seorang di antara kita seharusnya berkata : “Sekiranya saudara tidak keberatan, silahkan saudara mengusulkan diri sendiri.”

SEDANG : Siapa?

KURUS : Siapa?

GENDUT : Itulah sebenarnya pertanyaan yang akan saya tanyakan. (KEMUDIAN TENANG) Saya menyarankan demi rasa kesetiaan dan rasa sopan santun yang baik.

SEDANG : (TIBA-TIBA MENUNJUK KE LANGIT, SEOLAH-OLAH MENUNJUK KE SUATU TEMPAT YANG MENARIK) Lihatlah ada burung camar. Seekor burung camar.

KURUS : Maafkan kalau saya mengatakan dengan terus terang, bahwa saya orang yang tamak. Saya selalu memikirkan diri sendiri. Bahkan ketika saya masih sekolah, saya biasa makan siang seorang diri, saya tak pernah membagi makanan saya dengan orang lain.

GENDUT : Alangkah tidak menyenangkan. Kalau dalam hal ini kita terpaksa harus melakukan dengan undian.

SEDANG : Baik.

KURUS : Itu pemecahan yang paling baik.

GENDUT : Kita akan ambil undian dengan cara sebagai berikut. Salah satu dari kalian menyatakan sebuah nomor. Kemudian seorang lagi akan memilih nomor lainnya. Akhirnya sayapun akan memilih nomor yang ketiga. Apabila jumlah ketiga nomor itu ganjil, maka undian jatuh pada saya. Saya boleh kalian makan. Tetapi, apabila jumlah nomor itu genap, salah satu dari kalian boleh dimakan. (PAUSE)

SEDANG : Tidak … Saya tidak suka cara-cara berjudi.

KURUS : Apa yang terjadi kalau sekiranya yang kau lakukan yang salah?

GENDUT : Terserahlah kalau kau tidak mempercayai aku.

SEDANG : Sebaiknya kita mencari jalan lain saja. Kita orang-orang yang berbudaya. Menarik undian adalah cara-cara sisa jaman dulu.

KURUS : Itu kepercayaan nonsen.

GENDUT : Baiklah. Kita dapat pula mengatur suatu pemilihan umum.

SEDANG : Ide yang baik. (KEPADA SIGENDUT) Saya usulkan, agar kau dan aku membentuk satu front dalam pemilihan. Itu akan memudahkan kampanye.

KURUS : Demokrasi sudah usang …

GENDUT : Tetapi sudah tidak ada jalan lain. Kalau kau lebih menyukai kediktatoran, maka saya akan berbahagia kalau dapat menciptakan kekuasaan tertinggi.

KURUS : Tidak. Persetan dengan tirani.

GENDUT : Kalau begitu pemilihan bebas saja.

SEDANG : Dengan kartu pemilih yang bebas dan rahasia.

KURUS : Dan tidak boleh membentuk satu front. Setiap calon harus berkampanye sendiri-sendiri dan terpisah.

GENDUT : (BERDIRI. MEMBUKA KOPOR DAN MEMBUKA TASNYA) Ini sebuah topi. Di dalamnya nanti kita masukkan kartu pemilih dengan nama sang calon.

KURUS : Saya tak punya pena untuk menulis.

SEDANG : Dengan senang hati akan saya pinjami.

GENDUT : (MENGAMBIL PENA DARI SAKUNYA) Ini penanya.

SEDANG : (MENGGOSOK-GOSOK TANGANNYA) Hore.......... Untuk pemilihan.

KURUS : Sebentar. Kalau kita akan mengatur pemilihan ini dengan cara orang yang berbudaya, kita tidak dapat meninggalkan cara kampanye sebelum pemilihan. Di mana-mana di negeri yang berbudaya kampanye harus mendahului pemilihan.

GENDUT : Kalau kau menghendaki …

SEDANG : Baiklah. Marilah kita lakukan secepatnya.

GENDUT : (BANGUN DARI KURSI KEMUDIAN BERDIRI DI TENGAH-TENGAH) Kampanye sekarang dimulai. Siapa yang akan mempelopori bicara?

SEDANG : (KEPADA SIKURUS) Bagaimana kalau kau dulu?

KURUS : Lebih baik saya bicara belakangan. Saya tak pernah menjadi orator yang baik.

GENDUT : Tetapi semua ini adalah usulmu.

SEDANG : Benar. Semua ide tentang pemilihan ini berasal darimu. Kau harus bicara yang pertama.

KURUS : Oh, tentu, kalau memang itu yang kalian kehendaki. (BERDIRI DI ATAS KURSINYA SEBAGAI DI ATAS MEMBAR. YANG DUA LAINNYA MENGATUR DIRI DI DEPANNYA. SIGENDUT MENGAMBIL SAPUTANGAN DARI BAJUNYA KEMUDIAN DIBUKA DAN BERTULISKAN: KITA INGIN MAKAN) hemmm…………Saudara-saudara…

SEDANG : (MEMOTONG) Janganlah kalian menyuap kami. Kita orang2 biasa.

GENDUT : Saya setuju sekali. Persetan dengan ide yang muluk. Yang kita maui adalah kebenaran.

KURUS : Kawan2, Sahabat2ku, kita berkumpul di sini……

SEDANG : (MEMOTONG) Ayo cepat, langsung kepokok persoalan.

GENDUT : Waktu kita terbatas.

KURUS : Kita berkumpul di sini untuk membicarakan persoalan yang mendesak tentang jatah makanan. Sahabat2ku, adalah suatu anggapan yang salah bagi kalian kalau menganggap saya sebagai calon. Saya mempunyai isteri dan anak. Sering kali di waktu senja, saya duduk di kebun menyaksikan anak saya bermain ayunan, isteri saya menyulam dan kami selalu berkumpul di malam hari. Saudara2, sahabat2ku. Dapatkah anda bayangkan suasana yang bahagia tersebut? Tidakkah anda terpesona?

SEDANG : Itu bukan alasan. Kalau itu merupakan soal yang dianggap baik oleh masyarakat, rasa haru tidak diperlukan lagi. Anak2mu bisa bermain sendiri.

GENDUT : Kalau dia main sendiri barangkali lebih baik.
KURUS : Sahabat2ku. Waktu aku masih anak-anak, aku mempunyai rencana bagus sekali untuk masa depanku. Tetapi kenyataannya, aku tidak bekerja keras untuk itu. Aku tak pernah melaksanakan impian tersebut. sekarang ini semua itu rasanya sudah terlambat. Tapi aku yakin bahwa semua ini dapat berubah. Aku tidak akan melalaikan tugas pekerjaanku lagi. Telah banyak kesukaran yang kualami, benar-benar saya kurang yakin pada diri sendiri, malas, tapi sekarang aku akan memperbaikinya, betul-betul aku bersumpah. Aku akan melatih keinginanku, memperbaiki tingkah laku, serta menambah pengetahuan yang kumiliki sehingga seluruh pekerjaan berada di tanganku. Aku ingin menjadi seseorang yang baik.

SEDANG : Keras sedikit!

KURUS : Aku ingin menjadi seseorang yang baik!

GENDUT : Tamak, memikirkan diri sendiri.

SEDANG : Yang kita inginkan makanan.

GENDUT : Mari kita sama-sama. Satu, dua, tiga……

GENDUT &
SEDANG : Yang kita inginkan makanan. Kita ingin makan.

KURUS : (PUTUS ASA. HAMPIR MENANGIS) Tidak, itu tidak baik…….............. betul-betul tidak baik……(TURUN DARI KOTAKAN)

SEDANG : (MENOLONG SIKURUS TURUN, KEMUDIAN SISEDANG NAIK SENDIRI) Sahabat-sahabatku yang suka makan........

GENDUT : Dengarkan. Dengarkan. (SIKURUS BERTEPUK TANGAN, TAPI KURANG SEMANGAT)

SEDANG : Saya bukanlah seorang ahli pidato dan saya tak hendak bicara lama. Bagi saya perbuatan lebih penting dari bicara. Bahkan sejak masa kanak-kanak saya sudah tertarik dalam hal masak-memasak, seni masak. Meskipun makanan yang saya senangi hanyalah sedikit – ya sungguh. Saya adalah orang yang kurang nafsu makan dan kukatakan terus terang makan saya hanyalah sedikit, seperlunya atau hampir boleh dikatakan tidak makan. Apa yang harus kukatakan? Saya tak perlu makan apa-apa. Dua tahun yang lalu barangkali saya makan sesuap nasi di sini atau di sana. Itu hanya dua atau tiga hari sekali. Tetapi sekarang, tidak sama sekali. Baru-baru ini sayapun makan bersama kalian dan makan saya sedikit. Tetapi meskipun begitu, mempersiapkan makanan adalah kegemaran dalam hidup saya. Sebagai seorang ahli masak, tidak ada yang lebih menggembirakan daripada menyaksikan dan menunggui orang makan masakan yang saya buat. Hanyalah itu balasan yang kuingini,……Kalau dapat saya tambahkan, saya ini ahli memasak daging. Bumbu yang saya gunakan tak ada bandingannya. Hanya itulah yang dapat saya katakan.

GENDUT : Bagus, jempol. (TEPUK TANGAN. SIKURUS DIAM SAJA, SEDIH. SISEDANG TURUN DARI KOTAKAN, KEMUDIAN SIGENDUT NAIK)

SEDANG : Horeee. (SIGENDUT BERHENTI SEBENTAR DENGAN TANGAN DI PINGGANG, DIPANDANGINYA SELURUH BAGIAN, SEOLAH-OLAH DI KELILINGI ORANG BANYAK)

GENDUT : (TIBA-TIBA TANGANNYA DIACUNGKAN KE DEPAN, SEPERTI AKAN MEMBERI WEJANGAN DALAM PIDATO SEORANG PEMIMPIN) Orang-orang yang lapar, Terimalah salamku untukmu.

SEDANG : (BERSEMANGAT) Horeee. Dengarkan, dengarkan.

GENDUT : (MENENANGKAN SISEDANG, DENGAN GERAKAN TANGANNYA SEPERTI SEORANG ATASAN KEPADA BAWAHANNYA) Pidato saya akan pendek sekali – sebagai perintah seorang prajurit. Pertama: saya tidak mau mempengaruhi pikiran dan pendapat kalian. Kalian harus menentukan sendiri. Saya hanya penyambung lidah kalian, apa yang saudara-saudara kehendaki, merupakan suatu pesan yang suci murni bagi saya dan akan saya laksanakan. Saya hanya makan apa yang akan diberikan kepada saya. Kedua: tidak dapat dipungkiri, saya memang orang yang sukar untuk dicernakan, maaf sukar dipengaruhi. Saya selalu lemah lembut, bertulang kuat serta berkulit tebal. Mempunyai backking yang kuat, oh maksudku tulang punggung yang kuat sekali meskipun kaki saya timpang. Saya tidak perlu malu-malu. Kenapa mesti saya sembunyikan? Ketiga: saya tidak ingin menjadi seorang provokator. Saya lebih suka bicara langsung. Sekiranya saya tidak terpilih, saya dengan gembira akan memberikan daging jatah saya. Daging-daging yang lunak yang saya peroleh, akan kuberikan pada kawan-kawanku semua. Dan saya akan senang menerima sisanya, asalkan lidahnya diberikan kepada saya. Sebab saya tidak mau menyerah pada kemauan lidah.

SEDANG : Bagus, jempol. Hidup pemimpin kita.

GENDUT : Cukup sekian. Hanya itu. Tak ada lagi ocehan, petuah atau filsafat yang akan saya sampaikan. Mari kita maju terus.

SEDANG : Bagus, bagus, dengarkan, dengarkan. Sekali lagi horeee. (SIGENDUT TURUN DARI KOTAKAN. SIKURUS DAN SISEDANG MENGGULUNG TANDA GAMBAR MEREKA)

GENDUT : (PADA SIKURUS) Apakah kau merasa puas?

KURUS : Kau sungguh hebat. Hanya……hanya itu……saya tak dapat makan daging yang lunak. Sayang, kurang baik untukku. Saya tak boleh makan daging. Sekiranya tak ada bedanya untukmu, maka saya me……

SEDANG : (BERDIRI TEGAK DI HADAPAN SIGENDUT) Bapak, ucapan selamat dari saya. Pidato Bapak sangat berkesan di dalam hatiku. Dalam soal lidah, saya benar-benar di pihak Bapak.

GENDUT : Ya, baiklah. Habislah sudah masa kampanye. Marilah kita adakan pemungutan suara.

KURUS : Sungguh-sungguh banyak terima kasih.

GENDUT : Terima kasih kembali. Apalagi yang dapat saya lakukan untuk anda saya selalu siap sedia. (GENDUT BERJALAN KESUDUT LAIN DARI RAKIT. KINI SIGENDUT DAN SISEDANG MENGISI KARTU-KARTU MEREKA. SEMENTARA ITU SIKURUS TERUS BERDIRI MEMBELAKANGI MEREKA SAMBIL MEMANDANG KE LAUT. KEMUDIAN PADA SAAT YANG BERSAMAAN MEREKA BERBALIK, BERJALAN KETENGAH RAKIT DAN MENARUH KARTU-KARU MEREKA DI ATAS TOPI) Kini kita akan menghitung suara.

SEDANG : Bagus sekali. Pemilihan ini tentunya akan mempertajam selera.

KURUS : Semoga anda lebih bijaksana. (SIGENDUT MENARUH TANGANNYA DI ATAS TOPI. KEMUDIAN MENGANGKAT KEPALANYA DAN MENATAP SIKURUS DENGAN TENANG. PAUSE AGAK LAMA) Ada apa? Apa yang telah terjadi?

SEDANG : Bagaimana hasilnya?

GENDUT : Saudara-saudara. Kita harus membatalkan pemilihan ini.

SEDANG : Mengapa? Aku lapar.

KURUS : Apakah kamu mencoba menyabot pemilihan kita yang bebas dan demokrasi?

GENDUT : Di atas topi ada empat kartu. Empat. (SEPERTI SEBELUMNYA SIGENDUT MEMANDANG SIKURUS DENGAN CURIGA. BEGITU JUGA SEDANG)

KURUS : (MERASA TAK BERSALAH) Saya bilang bahwa demokrasi telah usang.

SEDANG : Apa yang terjadi sekarang?

GENDUT : Inilah suatu krisis kabinet. Mungkinkah akan lebih mudah untuk menunjuk atau mengangkat seorang calon?

KURUS : Persis. Seperti yang kuduga. Tidak. Itu di luar pertanyaan.

SEDANG : Suatu pekerjaan yang paling buruk. Demokrasi tidak berjalan. Tirani tidak dapat diterima. Kita harus pikirkan sesuatu.

GENDUT : Dalam saat-saat seperti ini satu-satunya orang yang dapat menolong kita adalah seseorang yang berbakti dan terilhami yang mau menawarkan dirinya sendiri. Bila bentuk normal dari tingkah laku gagal. Sering petualang-petualanglah yang menyelamatkan keadaan. (MENYIAPKAN SEKALI LAGI UNTUK PIDATO) Kawan yang terhormat……

KURUS : Oh, tidak. Aku tak mau mendengarkan kamu.

SEDANG : Dengarkan dia.

GENDUT : Kawan yang terhormat. Kita tahu bahwa ciri-ciri khas sesuatu bakti terhadap tugas, kasih sesama dan ketaatan tidak dapat dibatalkan. Sejak saat pertemuan kita saya lihat bahwa dalam dirimu terdapat sesuatu yang berbeda dari kami. Saya tentu saja menunjuk kepada keluhuranmu yang asli, hasratmu yang teguh untuk membantu kebaikan, kesediaan untuk……Bukan begitu kawan?

SEDANG : (BEGITU INGIN) Selama hidupku belum pernah kujumpai orang sebaik dia.

GENDUT : Kami bahagia karena akhirnya masyarakat memberimu kesempatan untuk memenuhi keinginanmu yang murni, yaitu kerinduanmu untuk diingat oleh kita sebagai seorang yang sopan, taat, ramah, menyenangkan, berlimpah……

KURUS : Tidak. Saya tidak mau.

SEDANG : Apa? Kamu tidak mau maju secara sukarela?

KURUS : Tidak.

SEDANG : Itu hina sekali.

GENDUT : Apakah kamu akan mengkhianati kawan-kawanmu? Sungguh-sungguh kamu harus……

KURUS : Tidak.

GENDUT : Apakah kamu benar-benar menolak?

KURUS : Aku menolak secara mutlak.

SEDANG : Saya tak hendak bicara kepadamu lagi. Saya kira anda seorang terhormat, pahlawan dari rakit kita. tetapi ternyata anda telah berlaku sebagai seorang bangsat. Selamat tinggal. (PERGI DAN MEMBELAKANGI SIKURUS)

GENDUT : Kami sangat kecewa. Jelaslah bahwa kehormatan tiada artinya bagimu. Akan tetapi mungkin anda dapat menyerahkan suatu jalan keluar yang lain, bukan?

KURUS : (DENGAN KEYAKINAN BERTAMBAH) Ya, tentu saja. Satu-satunya jalan yang kuminta adalah keadilan. Keadilan dalam segala hal, tidak lebih tidak kurang.

GENDUT : Anda heran terhadapku?

KURUS : Mengapa?

GENDUT : Bagaimana anda dapat yakin bahwa keadilan tidak akan menentangmu, maksudnya terhadapmu. Terhadap engkau sebagai calon?

KURUS : Halnya amat sederhana. Hidupku begitu malang dan menyedihkan. Bahkan semasa kanak-kanak tak sesuatupun pernah terjadi padaku. Lingkungan menentangku sedemikian……

GENDUT : Nah, anda mengira bahwa keadilan yang universal itu akan mengganti ketidak bahagiaanmu hingga kini?

KURUS : Ya.

GENDUT : Itu suatu hal yang luar biasa, bahwa orang yang hanya mengeluh mengenai kekurangadilan adalah anasir-anasir yang tidak bertanggung jawab. Mereka menuntut keadilan, hanya karena mengharapkan keuntungan dari sukses orang lain.

KURUS : Tidak, aku tidak mengundurkan diri. Aku menyetujui apapun. Dengan syarat bahwa keputusan adil.
GENDUT : Kau maksudkan dengan syarat bahwa engkau tidak dimakan?

KURUS : Nah, kau menyindir. Keadilan pertama-tama, bukan?

GENDUT : Marilah duduk, tuan-tuan. Saya tahu ini sesuatu yang sukar, tetapi harus kita laksanakan.

SEDANG : Aku tak mau bicaranya kepadanya. (MEREKA MENGAMBIL TEMPAT SEPERTI PADA PERMULAAN)

GENDUT : (KEPADA SISEDANG) Kawan terhormat. Apakah ibumu masih hidup?

SEDANG : (RAGU-RAGU) Aku……aku tidak tahu. Saudara pimpinan……bagaimana tentang ibumu?

GENDUT : (MENENGADAH KELANGIT) Malang nasibku, aku telah menjadi anak yatim sejak kelahiranku. Oh ayah – ibuku yang malang.

SEDANG : (TERGESA-GESA) Itulah justru yang ingin kukatakan. Terus terang, aku tak punya ayah–ibu.

GENDUT : (KEPADA SIKURUS) Bagaimana dengan engkau?

KURUS : Aku punya ibu. Mulai saat ini ia bersedih dalam kesepian. Ibuku yang malang.

GENDUT : Jelaslah bagiku dari segi keadilan, persoalannya mudah saja. Sungguh-sungguhkah akan bertentangan dengan suara hatimu untuk menggangu seorang anak yatim? Bahkan orang-orang buaspun berpendapat bahwa menjadi yatim adalah salah satu dari kemalangan-kemalangan yang paling hebat. Tidak tuan-tuan, jika salah seorang dari kita sebagai anak yatim dimakan, hal itu akan merupakan suatu tamparan terhadap keadilan yang paling dasar. Bukanlah menjadi yatim sudah cukup menderita, hingga ada alasan untuk tidak usah dimakan.

KURUS : (DALAM KEBINGUNGAN) Tetapi……

GENDUT : Tidak, tuan yang terhormat. Sekarang persoalannya terang benderang seperti di siang hari. Anda punya seorang ibu, nasibmu ternyata lebih baik di bumi ini. Janganlah anda berpendapat bahwa kini tiba waktunya untuk membayar hutang moril kepada anak-anak yatim di dunia ini yang tidak pernah mengenal perhatian seorang ibu, kehangatan suasana rumah dan makanan yang berlimpah. Terutama karena kau katakan tadi bahwa ibumu masih sedih akan kematianmu.

KURUS : (DENGAN PUTUS ASA MENCARI JAWAB ATAS PERTANYAAN TERSEBUT) Aku tidak tahu, mungkin ibuku telah meninggal. Terakhir kali aku melihatnya, ia merasa sangat lemah. Telah bertahun-tahun aku tidak pulang kerumah.

GENDUT : Nah, kini anda bicara seperti kanak-kanak. Bagaimana dapat kita buktikan hal-hal seperti itu?

KURUS : Segala yang dapat kukatakan adalah bahwa ia merasa tak sehat. Waktu aku berangkat, begitu banyak pembicaraan tentang penyakit di dunia modern……

GENDUT : Khayalan-khayalan artistik!

SEDANG : Jangan bicarakan hal itu, kawan. Ada hal-hal yang lebih baik dilupakan saja.

GENDUT : Dan ingatkah kau akan sanak keluarga yang jauh, tiran keji yang mengambil keju untuk umpan pasangan tikus?

SEDANG : (MERINTIH) Impian-impian buruk masa silam. (GENDUT BERDIRI DENGAN TENANG DENGAN TANGAN TERENTANG DI MUKA SIKURUS, SEOLAH-OLAH BERKATA: ANDA LIHAT, TIDAK SATUPUN DAPAT KITA LAKUKAN)

KURUS : Maafkan, saya kira saya mendengar seseorang sedang bicara di lautan. (MENDENGARKAN)

GENDUT : Anda mengalihkan pembicaraan. Memang. Penderitaan manusiawi tidak menimbulkan keharusan dalam dirimu, tetapi sama semua: anak-anak egois dari ibu-ibu…… (TERDENGAR SUARA LEMAH DI LAUTAN)

SEDANG : (DENGAN MENUDUH) Ia menghabiskan masa kanak2nya dengan bermain-main.

GENDUT : Benar, dengan mainan dan boneka. (SUARA YANG SAMA. KALI INI LEBIH DEKAT)

SUARA : Tolong…… tolong……

KURUS : Tidak, aku tidak melakukan hal itu. Aha, aku sungguh2 mendengarnya saat itu.

SUARA : Tolong……

GENDUT : Ya, ada seseorang berenang ke arah kita. anak2 yatim selalu mendapat yang paling buruk dari nasib baik.

SEDANG : (BERDIRI DAN MELIHAT KELUAR) Mungkin seseorang membawa makanan, saudara ketua. Aku dapat melihat lebih jelas kini, ia hanya berenang dengan satu tangan. Tangan lain sedang memegang sesuatu. (GENDUT DAN KURUS JUGA BANGKIT DARI KURSI MEREKA DAN BERJALAN KE TEPI RAKIT DI MANA SEDANG BERADA)

KURUS : Ya, itu mungkin. Seorang petani dalam perjalanannya ke pasar jatuh ke dalam air bersama dengan babinya. Dan waktu berenang mempergunakan satu tangannya untuk menggantung babi, satu2-nya harta miliknya……

GENDUT : Itu dia, aku dapat melihatnya.

SEDANG : Seseorang memakai pakaian seragam.

SUARA : (SANGAT DEKAT) Tolong. (SEORANG TUKANG POS MEMANJAT NAIK DARI LAUT, DENGAN SERAGAM LENGKAP, PECI DAN DENGAN TAS KULITNYA TERGANTUNG PADA LEHERNYA. SEDANG MENGULUR-KAN TANGAN KEPADANYA DAN MENARIKNYA KE ATAS RAKIT)

TK. POS : Banyak terima kasih.

GENDUT : Apakah anda bawa makanan?

TK. POS : Sama sekali tidak. Aku dapat menahan diri. Aku tidak punya sesuatupun sejak makan pagi. (MEMPERHATIKAN KURUS) Astaga, kamu di sini. Ketepatan yang luar biasa.

GENDUT : (DENGAN CURIGA) Anda saling mengenal?

TK. POS : Ya, tentu saja. Selama sepuluh tahun aku biasa mengantar surat untuknya. Aku sendiri sama sekali tidak menduga akan bertemu anda di tengah2 lautan. Banyak hal yang telah berubah cepat, seperti yang kini terjadi. Aku membawa telegram untukmu.

KURUS : Telegram untukku?

TK. POS : Ya, waktu itu aku berjalan ke arah rumahmu. Di tepi pantai akan menyerahkan telegram ini, ketika sebuah gelombang menghanyutkanku. Untunglah aku pandai berenang. (MELIHAT DALAM TAS) Ini.

KURUS : (BERGERAK KE ARAH SALAH SATU SUDUT UNTUK MEMBUKA DAN MEMBACA TELEGRAMNYA) Permisi sebentar.

GENDUT : (DENGAN CURIGA, KEPADA TUKANG POS) Apakah seragammu asli?

TK. POS : Asli, hanya saja basah. Anda tahu karena kena air……

KURUS : Horeeeeee……

GENDUT : Apa yang terjadi?

KURUS : (SAMBIL MEMPERTIMBANGKAN SESUATU) Tuan2, aku mengalami kesusahan hebat. Ibuku telah meninggal dunia.

SEDANG : Astaga.

KURUS : Dan kembali ke pokok pembicaraan, ijinkan aku menyatakan bahwa kini aku seorang yatim seperti kamu dan karenanya kita harus membuka kembali diskusi dan sekali lagi mempertimbangkan mengenai hal bahwa salah seorang dari kita dimakan.

GENDUT : Aku protes. Itu tipu muslihat. Kamu telah merencanakan semuanya dengan tukang pos ini.

TK. POS : (DENGAN SIKAP SOMBONG) Anda menghina seorang petugas negara yang sedang melaksanakan tugasnya?

GENDUT : Berapa rupiah kau bayar dia? Saya kira kamu dulu teman sekelas.

KURUS : Tuduhanmu tidak beralasan sama sekali. Silahkan menanyai sendiri tukang pos ini, apakah aku bersekongkol dengan dia atau tidak?

GENDUT : Baik, akan kami tanyai dia. Jika dia bilang ya, jika ia memberi kesaksian adanya kejahatan, kami akan memakan kamu tanpa ijin untuk naik banding. Jika ia menyangkal, kami akan memakan tukang pos ini.

TK. POS : Apa2an pula ini dengan memakan aku segala? Aku baru saja datang.
GENDUT : Itulah alasannya. Kamu masih segar……dan pasti memenuhi selera.

SEDANG : Saudara ketua, apakah anda mempertimbangkan kami seharusnya memakan keduanya ini? Yang seorang digoreng dan lainnya dimakan dengan sayuran mentah atau buah2an rebus? Atau kita dapat menjajar atau menaruh yang satu di atas yang lainnya……

KURUS : (DENGAN PENGHARAPAN) Mungkin bahwa tukang pos ini bukan seorang anak yatim? Lihatlah kami bertiga ini, tiada rumah, ditinggalkan, terlantar……kami sebaiknya menanyai dia, bukan?!

GENDUT : (MASIH BERPIKIR MENGENAI MAKAN) Tidak, aku lebih suka membuat anggur dari yang satu ini. hanya bagaimana membuat anggur burgundy dari seorang tukang pos?

TK. POS : (PENUH KEINGINAN UNTUK GABUNGKAN) Ya, memang. Aku seorang tukang pos kelas satu, tetapi seorang hamba yang sangat miskin.

SEDANG : (KEPADA TUKANG POS) Jika engkau memberikan kesaksian palsu bahwa kita berkolusi, saya akan melaporkanmu ke Direktorat Pos dan Telegram.

TK. POS : Jangan khawatir. Aku telah mengabdi selama 30 tahun lebih tanpa cela.

GENDUT : Kita boroskan waktu saja. Apakah kamu bersekongkol dengan orang ini? Ya atau tidak? Jika jawabannya ya dan berita kematian ibunya ternyata palsu kami akan memberi ginjal dan barangkali juga bagian yang empuk lainnya. Akan tetapi jika keteranganmu benar, maka kami bertiga anak yatim ini akan memakanmu berdasarkan alasan sederhana bahwa engkau seorang tukang pos. kantor pos adala suatu lembaga umum dan karenanya harus mengabdi semua orang.

KURUS : Harap jangan merusak nama baikmu.

TK. POS : Hal itu tak perlu ditakutkan. Selama bertahun2 saya telah hidup sebagai tukang pos yang jujur, aku tak dapat disuap dengan ginjal.

GENDUT : Kami barangkali dapat memberimu lutut sebagai tambahan, tetapi kuperingatkan kamu bahwa itu semua tergantung dari sejauh mana kita mendapat kemajuan dalam soal ini.

TK. POS : Tidak, tuan. (SAMBIL MENUNJUK PAKAIAN SERAGAMNYA) Anda lihat seragam ini? Keluhuran dari seragam ini kuhargai lebih dari segala2nya. Selamat tinggal. (TERJUN KE DALAM AIR)

KURUS : Tidak, jangan pergi, jangan pergi. Katakan dulu kepada mereka ini bahwa aku tidak bersalah. Tunggu. (SAMBIL MELAMBAIKAN SURAT TELEGRAM) Nah, kawan2, anda lihat dari segi keadilan, keadilan kita adalah identik. Kita bertiga ini anak yatim.

GENDUT : (SECARA KEBETULAN PADA SEDANG) Maukah engkau menyiapkan makan. Semuanya yang diperlukan ada dalam koporku.

KURUS : Apa? Kawan2ku anak yatim, menyiapkan……

GENDUT : Anda lupa bahwa ada macam2 keadilan. Misalnya keadilan sejarah.

KURUS : Apa maksudmu?

SEDANG : (SEMENTARA ITU TELAH MEMBUKA KOPOR) Saudara ketua, apakah kita membutuhkan juri?

GENDUT : Suatu kenyataan bahwa kita bertiga tanpa orang tua tidaklah menempatkan kita pada taraf yang sama. Persoalan yang perlu dipertimbangkan: Siapakah orang tua kita?

KURUS : Astaga, mereka……lagi2 orang tua.

GENDUT : Hahaha. Dan siapakah ayahmu?

SEDANG : Bagaimana mengenai penggilingan adonan?

KURUS : Ayahku? Ia seorang pekerja kantor. Bagaimana tentang ayahmu?

TK. POS : (MUNCUL DARI LAUT, BERSANDAR PADA TEPI RAKIT) Maaf, saya lupa tanda terima. Segala pembicaraan mengenai makan orang, membuat hilang akal.

KURUS : Dimana aku harus tanda tangan?

TK. POS : Di sini. (KURUS MENANDATANGANI TANDA TERIMA) Selamat tinggal. (BERENANG PERGI)

GENDUT : Jadi ayahmu seorang pekerja kantor? Persis seperti kuharapkan. Anda tahu menjadi apakah ayahku?

KURUS : Tidak.

GENDUT : Ia seorang penenbang kayu sederhana yang buta huruf. Memang ayahnya tidak pernah punya ayah. Ibunya menggendong dia sebagai hasil kekhawatiran, kemiskinan, kesusahan yang berlebihan. Anda tahu sementara ayahmu mengisi formulir2 kantor sebagai budak aristokrasi, sambil duduk enaknya dalam kantor yang hangat, bersih, ayahku sedang menebang pohon2an untuk bahan kertas, sehingga ayahmu dapat mempunyai kertas untuk menulis pemberitahuan, untuk pemecatan2 yang kemudian ia kirimkan kepada ibu dari temanku di sini, yang tak pernah punya ayah. Kuharap anda merasa malu terhadap dirimu sendiri. (SEDANG MENGELUARKAN DARI KOPOR EBERAPA PERKAKAS DAPUR, YANG DILETAKKANNYA DI RAKIT. KINI IA MENGELUARKAN SEBUAH MESIN PENGIRIS, YANG DICOBANYA DENGAN MEMUTAR TANGKAINYA BEBERAPA KALI)

KURUS : (MENGERTI BETAPA SINDIRAN2 GENDUT MENGARAHKAN KEPADA PERCOBAAN UNTUK MEMPERTAHANKAN DIRI DENGAN UNGKAPAN YANG SAMA) Tetapi saya tak dapat berbuat apa2 mengenai hal itu.

GENDUT : Oleh sebab itu keadilan yang diputuskan sekarang bahwa engkau akan dimakan, disebut keadilan historis.

HAMBA : Yang Mulia. Yang Mulia.

GENDUT : Ya Tuhan, apa yang terjadi sekarang? (DI SISI PANJANG RAKIT NAMPAK KEPALA SEORANG TUA BUTLER YANG TELAH BERUBAN)

HAMBA : Yang Mulia, alangkah bahagianya aku dapat bertemu dengan Yang Mulia.

GENDUT : Apa katamu?

HAMBA : (HAMPIR MENANGIS KARENA EMOSI) Tidaklah Yang Mulia mengenalku? Tidak ingatkah Yang Mulia bagaimana saya mengajarmu menaiki kuda, tatkala Yang Mulia masih kanak2?

GENDUT : Pergi!!!

HAMBA : Betapa mengherankan bahwa mataku yang tua ini akan melihatmu sekali lagi, Yang Mulia. Semua orang di istana begitu khawatir. Tatkala terdengar berita bahwa kapal Yang Mulia tenggelam, aku tak dapat menahan diri lagi. Aku bilang pada diri sendiri, kemana ia pergi, aku pergi juga. Nasibnya adalah nasibku. Maka aku terjun ke laut dan sampai di sinilah aku sekarang. Alangkah bahagianya, oh?!

GENDUT : Silahkan meninggalkan rakit dan tenggelam.

HAMBA : Tentu Yang Mulia. Alangkah untungnya, betapa mengagumkan. (LENYAP)

KURUS : Jangan, jangan kawan baik, jangan tinggalkan kami. Datanglah kemari…… Ia telah tenggelam.

GENDUT : (DENGAN NADA SE-OLAH2 TAK TERJADI APA2) Seperti saya bilang, anda dapat melihat keadilan historis itu……

KURUS : (MENJADI GEMBIRA) Memang. Aku tahu bahwa anda biasa hidup di istana dan anda belajar naik kuda……

GENDUT : Kuda? Bahkan ayahku tak mampu membeli kuda yang paling jelekpun. Kamu berpikir tentang masa kanak2mu sendiri yang begitu hina.

KURUS : Kini berakhirlah sudah. Apakah anda mengatakan bahwa aku, aku yang pernah naik kuda?

GENDUT : Memang. Kamu mengatakannya sendiri tadi.

KURUS : Tidak, ini melampaui segala pengertian. Aku menyatakan sungguh2 aku tidak punya hubungan apapun dengan seekor kuda.

GENDUT : Lebih2 aku. Ayahku yang miskin bahkan tak mengenal kata “kuda”. Ia buta huruf.

SEDANG : (SELAMA INI MENYAKSIKAN ADEGAN TERSEBUT. BERDIRI DI ANTARA BERMACAM-MACAM ALAT DAPUR DENGAN SEBUAH PANCI DI TANGANNYA) Kuda kecil yang malang. Tak seorangpun menginginkannya. (KEPADA KURUS) Tidakkah anda punya rasa belas kasihan kepada binatang? Apapun yang terjadi memiliki dia adalah merupakan sisa-sisa paling bahagia dari masa kanak2mu.

KURUS : Tetapi seseorang tadi?
GENDUT : Seseorang mana? (KEPADA SEDANG) Kau, adakah kau melihat seseorang?

SEDANG : Tentu saja tidak.

GENDUT : Kawan, saya takut saya tidak bisa lagi mengatakan sesuatu kepadamu dalam diskusi ini. Anda menderita halusinasi.

SEDANG : Kau seorang gila.

GENDUT : Dan sekarang sebagai seorang yang tidak bertanggung jawab atas tindakan2nya alangkah baiknya bagimu untuk menyerahkan dirimu kepada orang2 yang tahu apa yang mereka kehendaki. Engkau harus dikeluarkan dari kehidupan masyarakat dan sesuatu yang paling baik bagi masyarakat ialah memakan kamu. (KEPADA SEDANG) Ataukah anda tidak keberatan menyiapkan makan?

SEDANG : Haruskah kukeluarkan sendok2 teh?

GENDUT : Tentu. Ini adalah makan siang yang khas. (SEDANG MENARUH SENDOK2 TEH)

SEDANG : Satu atau dua pisau?

GENDUT : Dua. (SEDANG MENARUH PISAU2)

SEDANG : Kain meja makan?

GENDUT : Memang segala sesuatu harus seperti adanya. Kita ini orang2 yang berbudaya. (SELAMA PERCAKAPAN TERSEBUT KURUS MUNDUR KE TEPI RAKIT. MENARIK SATU KURSI DI BELAKANGNYA DAN BERSEMBUNYI DI BALIKNYA. SEDANG MENARUH KAIN MEJA PUTIH MELINTANG DI TENGAH RAKIT DAN DENGAN HATI-HATI MENARUH DUA TEMPAT GENDUT BERHENTI MENGAWASI KURUS. MALAH IA MENGAWASI SEDANG DAN TIAP KALI MEMBUAT ISYARAT KEPADANYA MENGENAI DIMANA BERMACAM2 BARANG ITU HARUS DITARUH. SEGERA MEJA SELESAI DISIAPKAN, KURUS MENANTI MEREKA GEMETAR DARI BELAKANG KURSI)

KURUS : (DENGAN KETAKUTAN) Maaf, sebentar.

GENDUT : (TIDAK MEMPERHATIKANNYA) Geser pisau, garpu, sendok, sedikit ke kanan.

KURUS : Saya kira, saya harus bilang kepada anda…… bahwa aku sedang keracunan.

GENDUT : Tempat buah di tengah2.

KURUS : Saya sungguh2. saya tidak mau bilang kepadamu sebelumnya. Saya akan sangat tidak baik bagimu.

GENDUT : (MENGAMBIL SATU GARPU DAN MENGAMATINYA) Bersih ini.

KURUS : Aku tidak hendak membuat kesukaran. Aku tidak hendak menyakitimu. Aku suka makan enak dan aku tahu apakah akibat rakus pada seseorang. Jika aku tidak keracunan, aku takkan menghalang2i, aku berjanji. Tetapi karena demikian halnya, maka dengan jelas tugasku……

GENDUT : Marilah kita mulai.

KURUS : (MUNDUR MASIH LEBIH JAUH KE KANAN KE PINGGIR RAKIT) Aku tak bilang bahwa ini tak bisa disembuhkan. Tidak, yang harus anda lakukan adalah menunggu sebentar dan racun itu akan hilang. Satu atau dua hari istirahat dan aku akan sembuh dari keracunan. Aku akan berbaring di sini, di sudut sana agar tidak mengganggumu. Segera setelah aku tidak keracunan, aku akan bilang kepadamu. Aku tidak akan minta dimaafkan lagi. (SEDANG MASIH TERUS MEMPERTAJAM PISAU SECARA BERIRAMA. GENDUT MELIHAT SEKALI LAGI KE MEJA MENELENGKAN KEPALANYA, MEMPERTIMBANGKAN-NYA, BERJALAN KE KOPER, DAN MEMINDAHKAN DARI SITU BEBERAPA VAS BUNGA. IA MENARUH BUNGA2 DI DALAM VAS DAN MENARUH VAS TERSEBUT. DI ATAS “MEJA”. KEMUDIA IA MENGAMBIL BEBERAPA LANGKAH KE SAMPING DAN MEMERIKSA HASIL PEKERJAANNYA. HANYA KINI IA MERASA PUAS)

KURUS : (MENJADI MAKIN KURANG YAKIN AKAN DIRINYA) Nah, mungkin dua hari agak terlalu lama. Paling lama satu hari. Anda mengenal peribahasa: “Apa yang haru kamu makan hari ini, lebih baik kamu makan besok pagi”. – ha, ha, ha, (SEDANG MENCOBA TAJAMNYA PISAU DENGAN JARINYA) Aku kira beberapa jam akan cukup. Bahkan satu jam.

GENDUT : Kini waktunya akan mulai. (SEDANG MAJU SELANGKAH KE ARAH TEMPAT KURUS)

KURUS : (DENGAN TER-GESA2) Baik, baik. Aku setuju. Hanya perkenankan aku sedikit menasehatimu. Demi untuk kepentinganmu sendiri.

GENDUT : Tentang apa?

KURUS : Nasehat mengenai makanan enak. Nasehat yang benar2 to the point. Bukankah…… bukankah akan lebih baik jika aku menuci kakiku lebih dulu? (SEDANG MEMANDANG DENGAN MENYELIDIK KEPADA GENDUT)

GENDUT : Memang, aku tidak pernah berpikir tentang hal itu. (KEPADA SEDANG) Bagaimana menurutmu?

SEDANG : (RAGU2) Aku tak tahu…… mungkin ia agak kotor dan sedikit berpasir…… mungkin memang seharusnya ia dicuci.

KURUS : (DENGAN CEPAT MENYISINGKAN CELANANYA) Ya, ya. Anda benar sekali. Kesehatan adalah dasar dari suatu kehidupan yang sehat. (MENGGARUK KAKI) Bakteri tidak nampak oleh mata biasa dan aku dapat merasakan gatal karenanya.

GENDUT : Baik sekali. Kebersihan pribadi tidak pernah menyusahkan seseorang. Sebaliknya ia menentukan suatu hidup yang panjang dan sehat. Tunggu sebentar, akan kuambilkan handuk. (KURUS DUDUK PADA TEPI RAKIT DAN MENJUNTAIKAN KAKINYA KE LAUT. IA MENCUCI DAN MEMERCIK-MERCIK)

KURUS : Nah, kamu berdua telah benar2 memutuskan untuk…… untuk……

GENDUT : Saya kira hal itu sudah jelas bagi kita.

KURUS : Anda mengatakan tentang pengorbanan diri……

GENDUT : Ya, aku bilang bahwa pengorbanan diri adalah suatu cita2 mulia.
KURUS : (MENDENGARKAN DENGAN PERHATIAN) Ya? Ceritalah lebih banyak.

GENDUT : Saya kira tak ada sesuatupun yang dapat kutambahkan. Pengorbanan diri, kesediaan mempersembahkan diri.

KURUS : Ya, aku tahu semuanya itu benar.

GENDUT : (BERDIRI DI ATAS DI DEKATNYA DENGAN SEBUAH HANDUK) Mengertikah anda sekarang? Anda tak mau percaya kepadaku sebelumnya.

KURUS : Aku memang sangat mentah dan kurang pengalaman…… tetapi kini aku melihat ada sesuatu dalam kata2mu.

GENDUT : (DENGAN MEMBESARKAN HATI) Anda masih punya waktu untuk memperbaiki.

KURUS : Aku telah terlalu aib. Aku telah menolak semua pernyataan2mu.

GENDUT : Tetapi sungguh2 dalam lubuk hatimu, anda bukanlah orang yang sinis, menurut pertimbangan perasaan-muliaku, aku dapat melihat permulaan kemajuan. Bukankah kaki yang sebelah itu sudah cukup?

KURUS : Belum, aku harus mencuci sela2 jari. Jadi kembali ke pokok pembicaraan, aku harus bilang kepadamu bahwa dalam diriku, mulai saat ini bangkit manusia baru yang lebih baik. Eeemmm, ngomong-ngomong, apakah anda tidak keberatan menarik kembali pendapat itu?

GENDUT : (DENGAN TIDAK SABAR) Astaga.

KURUS : Tidak, tidak, memang begitulah. Jadi apa yang telah kubicarakan? Aha, manusia baru yang lebih baik? Memang, apabila sesuatu dimakan sebagai sesuatu kurban manusia biasa, tentu saja sangat berbeda apabila yang dimakan sebagai orang manusia baru yang lebih baik dan diluar dari penyerahannya sendiri. Dengan kata lain, dimakan dengan persetujuan batin sendiri dan ilham yang luhur. Anda berjanji kepadaku, bahwa segala sesuatu telah diputuskan, bukan?

GENDUT : Dengan segala hormat.

KURUS : Ha, buruk sekali. Baiklah…… apakah yang kukatakan? Aha, itu memberikan rasa puas kepada seseorang, suatu perasaan bebas dan merdeka……

GENDUT : Akhirnya anda mengerti pandangan kami. (KEPADA SEDANG) Kawan, coba sabunnya bawa kemari.

KURUS : (DENGAN GEMETAR) Karena anda seharusnya tak berpendapat bahwa aku hanyalah seorang budak.

GENDUT : Tetap terjamin, aku tidak akan berpendapat begitu tentang dirimu. Sebaliknya anda akan turun ke dalam perut kami – saya maksud ke dalam ingatan kami – sebagai seorang pahlawan, sebagai suatu mercu suar dari pembaktian yang tidak mencari untung. Saya kira kaki sebelah telah selesai, bukan?

KURUS : (BAHKAN LEBIH GEMETAR) Memang telah selesai. Kaki kanan telah selesai juga. Berikan handuk itu dan aku akan keluar dari air.

GENDUT : Tidak, saya kira sebaiknya kau cuci kaki kanan sedikit lagi……

KURUS : Baiklah.

GENDUT : Saya kira itu akan lebih baik.

KURUS : Ya, aku adalah orang pertama yang membuat keputusan agung ini. Aku adalah orang pertama yang bangkit untuk mengorbankan diri bagi orang2 lain……

SEDANG : (MEMANDANG KURUS DENGAN SIKAP MENGECAM) Kukira anda membutuhkan obat pembersih.

GENDUT : Tidak, tidak ada yang keliru mengenai obat pembersih. Kita dapat menunggu beberapa saat lagi.

KURUS : Tunggu?! Bukankah kawan2ku sudah kelaparan? (MENCOBA UNTUK BANGKIT, TETAPI SIGENDUT MENAHANNYA TETAP DUDUK)

GENDUT : Sebentar lagi kaki kananmu akan selesailah sudah.

KURUS : Kakiku rupanya begitu tak berarti, kini aku telah melihat sinar terang. Mereka mungkin sama kotornya.

GENDUT : (MENYERAHKAN HANDUK KEPADANYA) Baik, dan inilah handuknya. (KURUS BANGKIT DAN BERJALAN KE TENGAH2 RAKIT)

KURUS : Tuan2, terima kasih. Akhirnya aku telah menjadi manusia yang benar2. aku telah insyaf bahwa aku seorang manusia ideal.

GENDUT : Terima kasih kembali.

KURUS : Aku telah menginsyafi harga diriku. Meskipun demikian, bagaimana keadaan sebenarnya kita disini bertiga dan di antara mereka akulah satu2nya orang yang menyelamatkan dua orang lainnya. Aku ingin jika diinginkan sedikit berpidato mengenai soal kebebasan.

GENDUT : Panjangkah pidato itu?

KURUS : Tidak, hanya beberapa kata.

GENDUT : Baik, silahkan.

KURUS : (MENARIK SATU KURSI KE SISI RAKIT DAN NAIK KE ATASNYA. DENGAN CARA YANG SAMA SEPERTI PADA PIDATONYA PADA PERMULAAN ADEGAN) Kebebasan tidak berarti apa2. Hanyalah kebebasan yang benar yang mempunyai arti. Mengapa? Karena ia benar, dan karenanya ia lebih baik. Dalam hal apa sebenarnya kita harus mencari kebebasan yang benar? Marilah kita berpikir secara logis. Jika kebebasan benar tidak sama dengan kebebasan biasa, dimana kita akan menemukan kebebasan yang benar2 ini? Jawabnya sederhana: kebebasan benar hanya terdapat di tempat dimana tidak ada kebebasan biasa.
SEDANG : Saudara Pimpinan, dimana garamnya?

GENDUT : Jangan menggangu. Secara jujur, alangkah baiknya waktu untuk……. (DENGAN SANGAT TENANG) Di dasar koper.

KURUS : Dan karenanya aku telah memutuskan…… (SEDANG PERGI KE KOPER DAN MELIHAT KE DALAMNYA. LALU BER-GESA2 KE GENDUT)

KURUS : Dan karenanya aku memutuskan…… (IA MENGULANGI KATA2 INI DAN MELANJUTKAN MENGULANGINYA SEPERTI SEBUAH PIRINGAN HITAM, HANYA TIDAK MONOTON, TAPI MENG-INTERPRETASI-NYA DALAM CARA LAIN, SE-OLAH2 IA DENGAN PUTUS ASA MENCARI2 APA YANG AKAN DIKATAKAN)

SEDANG : (DENGAN BER-API2, AGAK BERBISIK TAPI SANGAT TERANG) Saudara Pimpinan, aku telah menemukan kaleng kacang panjang dan sosis.

GENDUT : Ssssssttttt. Sembunyikan cepat.

KURUS : Dan karenanya aku telah memutuskan……

SEDANG : Terus terang aku lebih suka kacang panjang. Apa pendapatmu, Sdr. Pimpinan?

GENDUT : Aku tidak suka kacang panjang. Dan meskipun begitu……

KURUS : Dan karenanya aku telah memutuskan……

SEDANG : Meskipun begitu apa?

GENDUT : (MENUNJUK KEPADA KURUS) Tidak lihatkah kau? Ia berbahagia sebagaimana ia adanya.


Nyanyian Angsa


Nyanyian Angsa
Anton P.Chekov

Pelaku :
Vasili Svietlovidoff : Seorang komedian berumur 68 tahun
Nikita Ivanitch : Seorang promter (pembisik), orang tua

Skene ini terjadi di atas sebuah teater daerah. Malam hari setelah pementasan. Si sebelah kanan keadaannya tidak teratur dan ada pintu usang tak bercat ke kamar-kamar pakaian. Di sebelah kiri dan latar belakang pentas diseraki oleh bermacam-macam barang usang. Di bagian tengah ada sebuah kursi polos terjungkir.

SVIETLOVIDOFF : (dengan sebuah lilin ditangan, keluar dari kamar pakaian dan tertawa) ya, ya ini gila sekali! Sungguh ini lelucon yang sangat bagus. Aku jatuh dari kamar pakaian setelah pementasan habis, dan di situ aku dengan tenang ngorok setelah semua orang meninggalkan gedung teater ini. Ah! Aku memang orang tua yang tolol, si tua yang sialan! Kiranya aku telah minum lagi sehingga aku tertidur di dalam sana, tergeletak. Sungguh pintar! Selamatlah kau pemuda gaek! (memanggil) Yeghorka! Petruskha! Di mana engkau setan, Petruska? Kedua bajingan itu tentulah sudah tidur, dan meskipun gempa tak akan bisa membangunkan mereka sekarang!
Yekhorka (mengambil kursi polos, lalu duduk setelah meletakkan lilin di atas lantai) tak ada suara! Hanya gema yang menyahutku.
Aku beri yegorkha dan petruskha persen setiap hari dan mereka telah hembus dan mungkin sekali telah mengunci gedung teater ini. (menggoyang-goyangkan kepalanya). Aku mabuk.
Ugh, pementasan malam ini sungguh menggembirakan, dan alngkah gilanya jika dipikir. Berapa banyak bir dan anggur yang telah kutuang ke dalam tenggorokan untuk menghormati peristiwa ini. Luar biasa! Rasanya tubuhku ikut tenggelam seluruhnya dan kurasa ada dua puluh macam lidah didalam mulutku. Sungguh gila! Tolol sekali! Si jahanam yang malang dan gaek ini telah mabuk lagi dan tidak tahu apa sebenarnya yang dia Tuhankan! Ugh kepalaku remuk, seluruh tubuhku menggeletar dan aku m,erasa dingin serta gelap bagaikan dalam kolong bawah tanah. Bahkan jika aku tidk lupa hancurnya kesehatanku, seharusnyalah aku ingat umurku. Betul-betul si gaek yang tolol aku ini. Yah! Umurku yang telah tua, tak ada gunanya lagi. dan aku yang berlaku dengan tolol, pongah, dan pura-pura muda padahal hidupku sekarang telah usai. Kuciumi juga tanganku yang telah enampuluh depalan tahun berlalu dan tak mungkin kulihat kembali. Aku kosongkan botol itu. Hanya tinggal beberapa tetes lagi di dasar, itupun cuma kerak-kerak. Ya, ya demikianlah halnya, Vasili, pemuda gaek. Waktu telah tiba bagimu untuk meltih peranan sebagai orang mati, suka atau tidak. Kematian kini sedang diperjalanan menujumu (melotot ke atas).
Aneh sekali, meskipun aku telah berada di pentas 40 tahun selama ini, baru kali pertama inilah aku menyaksikan gedung teater ini malam hari, setelah lampu-lampu dipadamkan. Untuk kali pertama! (berjalan bangkit ke arah lampu kaki) alangkah gelapnya di sini. Aku tak dapat melihat apa-apa. Oh ya, aku dapat melihat lubang sipembisik dan mejanya, terbaring di dalam liang yang gelap, hitam tak berdasar, macam kuburan dimana maut mungkin sedang bersembunyi. Brrrrr …….. betapa dinginnya ini. Angin berhembus dari tetater kosong ini seperti keluar dari terowongan batu. Ini tempat hantu! Tengkukku jadi begidik (menggigil). Yegorkha! Petruskha! Dimana kalian berdua? Apa yang menyebabkan aku merasa benda-benda yang ada di sekitarku menyeramkan? Aku semestinya diberi minuman, aku seorang tua. Aku tidak akan hidup lebih lama lagi. pada usia 68 orang pergi ke tempat beribadah, dan bersiap-siap untuk kematian. Tetapi aku di sini. Ya tuhan! Anak yatim tua ini mabuk dalam pakaian tololnya. Aku tidak pantas lagi kelihatan begini. Aku mestinya pergi untuk menukarnya.
…………. Ini memang tempat maut dan aku tentu akan mampus ketakutan kalau di sini semalaman. (keluar menuju kamar pakaian). Ketika itu juga muncul nikita ivanitch, muncul dengan pakaian serba putih dari kamar pakaian di ujung pentas.
SVIETLOVIDOFF:
"(melihat Ivanitch, kemudian menjerit kaget sambil mundur ke belakang) Siapa kau? Apa, apa perlumu? (menhentakkan kaki) siapa kau?

IVANITCH : Ini aku, Tuan…!

SVIETLOVIDOFF :"Siapa kau? Ivanitch?

IVANITCH :"(Datang mendekat perlahan-lahan) Ini aku,Tuan, si pembisik!

SVIETLOVIDOFF : (Terhuyung-huyung ke kursi, bernafas sesak lalu menggeletar hebat) Ya Tuhan!Siapakah kau? Itu kau… kaukah itu Nikituskha? Apa…apa yang kau kerjakan di sini?

IVANITCH : ”Aku menginap malam ini di lemari pakaian. Mohon sekali tuan jangan beritahukan Alexi Komitch. Aku tak punya tempat tinggal lain untuk menginap malam ini. Aku sungguh-sungguh tak punya.

SVIETLOVIDOFF :"Ah! Nikituskha? Cobalah pikir, mereka menyeruku 16 kali. Mereka memberiku tiga bungkus bunga dan banyak lagi benda-benda yang lain. Antusias mereka sudah melonjak-lonjak.Namun tiada sebuah hatipun datang setelah pementasan selesai, untuk membangunkan orang tua yang malang ini dan membawanya pulang ke rumah. Dan aku, akulah… orang tua itu Nikituskha! Usiaku telah 68,sakit-sakitan lagi, dan aku tak punya harapan lagi untuk hidup. (Jatuh memeluk leher IVANITCH dan menangis). Jangan pergi jauh NIKITUSKHA! Aku sudah uzur, tak ada harapan lagi, dan kurasa inilah saatnya aku mati. Oh ini sangat mengerikan! Mengerikan sekali!

IVANITCH : (Kasihan dan penuh hormat) Tuan, kini sebaiknya Tuan pulang saja.

SVIETLOVIDOFF : Aku tak mau pulang. Aku tak punya rumah. Tidak! Tidak! Tidak!

IVANITCH :"Oh Masak Tuan lupa di mana Tuan tinggal?

SVIETLOVDOFF :"Aku tak mau kesana, aku tak mau! Aku cuma sendirian di sana. Aku tak punya keluarga. Nikituskha! Tak punya istri, tak punya anak. Aku seperti angin yang berhembus melintasi padang-padang yang sepi. Aku akan mati dan tak seorangpun akan mengikuti. "Sungguh mengerikan kesendirian ini.Tak ada yang membahagiakanku, tak ada yang mengasihiku. Tak ada yang mau menolong aku ketempat tidur kalau aku mabuk. Punya siapakah aku ini? Siapa yang membutuhkan aku? Dan siapakah yang mencintai aku? Tak sebuah hatipun, Nikituskha.

IVANITCH : (Menangis) Penonton mencintai Tuan.

SVIETLOVIDOFF :Penonton sudah pulang. Mereka semua sudah tidur dan melupakan si badut tuanya. Tidak seorangpun membutuhkan aku, tak ada yang mencintaiku. Aku tak punya istri dan tak punya anak.

IVANITCH : "Oh Tuan.oh Tuan! Jangan jadi begitu murung karenanya.

SVIETHLOVIDOFF : "Tetapi aku seorang laki-laki dan masih hidup segar. Darah masih terus mengalir dalam nadiku, darah warisan bangsawan. Aku seorang Aristokrat Nikithuskha! Aku telah mengabdi dalam ketentaraan dibagian artileri sebelum jatuh aku jatuh hina. Betapa gagahnya aku sewaktu muda. Tampan gagah dan berani! Kemanakah itu semua pergi? Apa jadinya itu semua dimasa tua? Tentulah ada liang yang telah menelan itu semua! Aku mengenang itu semua sekarang.
“Telah 45 tahun hidupku tenggelam disitu. Hidup apa itu Nikituskha?Aku dapat melihatnya dengan jelas seperti melihat wajahmu : remaja yang riang , bersemangat, gairah pujaan wanita. Wanita Nikituskha!

IVANITCH :"Sebaiknya Tuan tidur saja sekarang!

SVIETLOVIDOFF : Ketika baru-baru aku naik ke pentas, semasih gairah remaja bergejolak, aku ingat seorang wanita yang jatuh cinta karena aktingku. Dia sangat cantik, tinggi semampai, muda, suci, tak bercela, berseri-seri laksana fajar musim panas. Semuanya dapat tembus menyinari kegelapan malam.
">Masih kuingat sekali ketika aku berdiri di depannya seperti sekarang aku berdiri didepanmu.Dia kelihatan begitu mencintaiku, tidak seperti kenyataan kemudian. Berkatalah ia kepadaku supaya memandang dengan pandangan demikian! Pandangan yang tidak dapat kulupakan, tidak bahkan sampai kekubur seklipun. Begitu kasih, begitu lembut, begitu dalam, begitu bersinar ceria!
"Dengan sangat riang mabuk kepayang, aku berlutut di hadapannya. Lalu aku mohon demi kebahagiaan, dan berkatalah ia: " tinggalkan pentas".
Kau mengerti? Dia dapat mencintai akting. Tetapi, buat mengawininya tidak! Aku sedang berlakon pada suatu ketika. Ya, aku ingat, aku berperan sebagai badut yang tolol. Setelah berlakon aku merasa mataku jadi terbuka karena melihat apa yang pernah kuanggap pemujaan kepada seni begitu suci, sebenarnya adalah khayalan dan impian kosong belaka. Bahwa aku adalah badut yang tolol dan menjadi permainan yang asing dan sia-sia.
">Akhirnya aku mengerti tentang penonton. Sejak saat itu aku tak percaya lagi pada tepukan tepukan mereka, atau pada bungkusan bunga mereka atau pada ketertarikan mereka. Ya, Nikituskha!orang memuja aku, membeli gambarku, tetapi aku tetap asing bagi mereka. Mereka memburu-mburu supaya dapat bertemu dengan aku tetapi melarang adik perempuan atau putrinya untuk kawin denganku, seorang yang hina dina. Tidak! Aku tak yakin lagi kepada mereka. (terhenyak dalam kursi polos) Tak yakin lagi kepada mereka.

IVANITCH : ">Oh Tuan!Kau kelihatan begitu pucat pasi. Kau dekati aku dengan kematian. Ayolah, kasihani aku!

SVIETLOVIDOFF :">Ketika aku telah mengetahui segalanya dan pengetahuan itu telah dibeli tunai, Nikituskha! Setelah itu…jika gadis itu…nah, kumulailah penggambaran tanpa tujuan hidup dari hari kehari, tanpa tujuan apa-apa.Akupun mengambil peranan pelawak murahan. Membiarkan diriku hancur.Oh, mestinya aku dulu adalah seorang artis yang besar namun perlahan-lahan aku buang jauh-jauh bakatku dan memainkan banyolan-banyolan tolol, kehilangan pegangan, kehilangan kekuatan ekspresi diri. Lalu, akhirnya hanya menjadi seorang banci Marry Andrew dari pada seorang laki-laki. Aku telah ditelan seluruhnya kedalam liang besar yang gelap. Namun, malam ini ketika aku terbangun kulihat kebelakang. Di sana , di sampingku terbentanglah waktu68 tahun.
Barulah aku menyadari betapa lamannya itu sudah. Dan, semua itu telah berlalu… (tersedu-sedu)…semuanya telah berlalu…..

IVANITCH :">Di sana, di sana, Tuan! Diamlah….mudah-mudahan! (Memanggil) Petrushka! Yegorhka!

SVIETLOVIDOFF :">Tetapi, betapa jeniusnya aku. Aku tidak bisa membayangkan kemampuanku, betapa fasih, bagaimana menariknya aku, betapa peka, dan betapa hebat tali senar (menepuk-nepuk dada) menggetar di dalam dada ini. Sungguh berdebar perasaanku memikirkannya!
Dengarlah sekarang! Tunggu! Bisr sku tsrik napas dulu. Yah, sekarang dengarkanlah ini:
;Berlindung darah ivan kini kembali
Terkipas dari bibirku pemberontakan berkobar
Akulah Dimitri yang buta! Di dalam kobaran apiu
Boris akan musnah diatas tahta yang kutuntut
Cukup! Pewaris tsar tak tampak lagi
Berlutut ke sana ke ratu Polanbdia yang congkak"
(dari : Boris Gonudof, karya Pushkin)
Jelekkah itu, ha? (cepat) Tunggu! Nah ini sesuatu dari Raja Lear. Langit gelap, kelihatan hujan turun deras, guruh mengguntur, kilat … zzz zzz zzz … menerangi seluruh permukaan langit, dan kemudian dengarkanlah :
;Tiuplah angin, hancurkan pelipismu! Amuk! Tiupkan!
Sehingga kau basahi puncak menara kami, tenggelamkanlah ayam-ayam Kau berlekang pikiran yang pasti membakar
Patung disambar petir
Hanguskan kepalaku yang ubanan!
Dan kau segala guruh
Yang menggelegar pukul ratakan bentuk dunia yang gemuk!
Hancurkan kesuburan dunia, segala kecambah leburkan sekali
Itulah yang membuat orang tak bersyukur!
(Tak sabar) Sekarang, peran si tolol. (Menghentakkan kakinya) Lekas ambil peran si tolol! Cepat! Aku tidak bisa menunggu.

IVANITCH :">(Mengambil peran si tolol);Nunolo, air suci istana di dalam rumah gersang lebih baik daripada air hujan di rumah ini. Bagus, Nunolo, masuklah. Mintalah anugerah putrimu : ini adalah malam belas kasihan bagi orang-orang bijaksana maupun orang tolol.

SVIETLOVIDOFF : Menggunturlah sesuka hatimu! Muntahkan kabar!Luncurkanlah hujan! Bukan cuma hujan. Angin, kilat, api adalah putri-putrimu. Aku bukan menuntutmu, kau anasir-anasir, dengan kejahatan aku tak pernah beri kau kerajaan, kunamakan kau anak-anak nada
Ah! Sungguh mampu dan berbakat kau! Dan, aku memang artis ulung! Selanjutnya kini, iniloah sesuatu lagi semacam tadi, untuk mengembalikan masa mudaku lagi. Umpamanya, ambillah ini, dari Hamlet aku akan mulai … biarkan aku … bagaimana mulainya? Oh ya, inilah dia. (Mengambil peran Hamlet) Oh! Para pencacat, biarkan aku sendirian! Kembalikan kalian! Mengapa kalian bermaksud mencari bauku? Sehingga kalian masuk dalam jebakan.

IVANITCH :;Oh Tuanku, jikalau tugasku begitu garang, maka kekasihku begitu curang

SVIETLOVIDOFF :Aku sungguh-sungguh tak mengerti itu

IVANITCH : Tuanku, aku tak pandai.

SVIETLOVIDOFF :Kuharap kau.

IVANITCH :Percayalah, aku tak pandai.

SVIETLOVIDOFF;Aku mohon padamu!

IVANITCH ";Aku tak pandai memegangnya, Tuanku.

SVIETLOVIDOFF : Ini mudah saja seperti berbaring-baring : tutuplah lubang-lubang itu dengan jari, keluarkan napas dari mulutmu, dan nanti akan terdengar musik yang amat merdu. Perhatikan, itu penutupnya.:

IVANITCH :
;Tetapi, itulah yang aku tidak bisa memakainya agar cocok : aku tak ahli.

SVIETLOVIDOFF :Mengapa? Ingatlah betapa tak bergunanya kau lakukan untukku, kau harus nampak paham akan istirahatku, kau harus menangkap hakekat dari kegaibanku, kau harus mendengar dari catatanku yang mula-mula hingga puncak pedomanku.
Dan di situlah terdapat berbagai musik, suara yang indah di dalam alat yang kecil ini, meskipun kau tak bisa meniupnya hingga berbunga. Astaga! Kau pikir aku hanya muda meniup suling itu saja? Sebetulnya, alat instrumen mana yang kau kehendaki? Meskipun kau tak yakin kepadaklu, kau memang tak bisa melakukannya untukku."
Tertawa dan bertepuk) Hebat! Hebat sekali! Di manakah setan yang bersarang di dalam usia tua ini? Aku bukan orang tua, semuanya itu omong kosong. Arus tenaga masih mengalir di dalam diriku. Inilah hidup, gairah, dan muda!
Usia tua dan jenius tentulah tidak berdampingan bersama-sama. Kau nampak membisu saja. Nikitushka. Tunggulah sejenak sampai kekuatanku pulih.
Oh! Rumah! Sekarang perhatikan! Pernahkah kau mendengar lembut seperti:
;Bulan telah lenyap, tiada lagi cahaya
Mendampingi gugusan bintang kesepian yang meratap pucat
Di cakrawala ada yang tiba-tiba bercahaya
Bunga putih bersih di tengah-tengah lembah bunga mawar
Disusupi kunang-kunang,
Yang cahayanya suram berkedip-kedip,
Bagai harapan yang enggan menjelma
Suara-suara pintu terdengar) Apakah itu?

IVANITCH Itu tentu Petrushka dan Yegorhka pulang. Ha, engkau memang jenius, Tuan.

SVIETLOVIDOFF : Memanggil, berpaling ke arah suara-suara tadi) Kasihanilah anak-anak. (Kepada IVANITCH) Ayolah kita pergi tukar pakaian. Aku bukan orang tua. Semua itu tolol, omong kosong! (Tertawa gembira)Apa yang kau tangisi? Ini bukan … kemauan! Ya, ya, segalanya ini bukan kemauan! Mari, mari orang tua, jangsan terbeliak bigitu! Apa sebab kau terbeliak begitu? Ya, ya, (memeluk sambil menangis) Jangan menangis! Di mana ada seni dan jenius di situ pasti tidak ada segala ketentuan, kesepian, atau penyakitan … hanya kematian itu yang semakin dekat. (Tersedu-sedu)Tidak! Tidak, Nikitushka!
"Segalanya itu telah berlalu dari kita sekarang! Betapa jeniusnya aku!
Aku seperti uap lemin, botol pecah. Dan, kau, kau adalah tikus tua gedung teater … pembisik, ayolah!
Mereka pergi) Aku bukanlah jenius. Aku hanyalah cocok disamakan dengan promter. Bahkan, untuk itupun aku terlalu tua. Ya … kau ingatkan baris-baris ini dari Othelo, Nikitushka!
Selamat tinggal kenangan damai!
Maha perang
Yang mengalahkan angin unggul!
Oh, selamat tinggal!
Selamat tinggal ringkik kuda, dan sangkakala terompet
Pukulan genderang bersemangat
Suling yang menembus pendengaran

Diterjemahkan oleh : Djohan A. Nasution

Malam Jahanam

MALAM JAHANAM
KARYA : MOTINGGO BOESJE

DIPINGGIRAN LAUT KOTA KAMI, PARA NELAYAN TAMPAK SELALU GEMBIRA MESKIPUN MISKIN. RUMAH MEREKA TERDIRI DARI GUBUK, TIANG BAMBU BERATAP DAUN KELAPA. SUARA MEREKA YANG KERAS DAN GURAUAN KASAR MEREKA, SEOLAH MENGESANKAN BAHWA MEREKA KURANG AJAR. BEGITU PULA PAKAIAN MEREKA, YANG LELAKI BERCELANA KATOK DAN BERBAJU KAOS HITAM DENANG GOLOK DIIKAT DI PINGGANG.

KAIN SARUNG TERSELEMPANG, BERKOPIAH DAN MATA YANG TAJAM MENGESANKAN DARAH YANG KERAS.

PERERMPUAN DISINI BERBICARA PEDAS, PENUH GAIRAH DAN PAHIT. PAKAIAN MEREKA MENCOLOK DI TUBUH PADATNYA, MENCOLOK SEPERTI KETAWANYA YANG KERAS, SAMBIL BIBIR BERGINCU ITU MELEMPARKAN SENYUM YANG SEOLAH-OLAH KURANG AJAR.

TETAPI BETAPUN SEBENARNYA, MEREKA, SEPERTI DIMANA-MANA MEMPUNYAI JUGA KELEMBUTAN HATI DAN KETULUSAN, BIARPUN MUNGKIN KETULUSAN YANG AGAK BODOH.

MALAM INI SEMUA ITU TERJADI.

I

MALAM INI, PERKAMPUNGAN NELAYAN ITU, DIRUMAH MAT KONTAN DAN SOLEMAN TAMPAK SEPI. BARANGKALI HAMPIR SEISI KAMPUNG MELIHAT UBRUK, SEBAB BUNYI UBRUK DISEBELAH TIMUR BEGITU SAYU MENIKAM-NIKAM.

HANYA UJUNG ATAP DAN TONGGAK BAMBU RUMAH SOLEMAN SAJA YANG TAMPAK DIKIRI. DEKAT TONGGAK BAMBU ITU TERGANTUNG SEBUAH LENTERA YANG DIOMBANG-AMBING ANGIN BARAT. ADA SEBUAH BANGKU DIBAWAH LENTERA ITU, BIASA DIPAKAI OLEH SOLEMAN UNTUK DUDUK-DUDUK, TAPI MALAM INI BANGKU ITU KOSONG.

RUMAH YANG DIHADAPAN RUMAH SOLEMAN ITULAH RUMAHNYA MAT KONTAN, SEORANG YANG TERKENAL SOMBONG DI KAMPUNG ITU. PINTU RUMAHNYA TERTUTUP. BIASANYA, DISEBELAH KANAN PINTU ITU IA DUDUK DI SEBUAH BANGKU BAMBU PANJANG. DENGAN MENAIKI BANGKU ITU IA SERING BERSIUL MEMPERMAINKAN PERKUTUTNYA DI DALAM SANGKAR YANG TERGANTUNG PADA UJUNG ATAP. DIKIRI PINTU ADA BEBERAPA PELEPAH KELAPA TERONGGOK. SEBUAH TIANG JEMURAN DI DEPAN RUMAH MASIH DISANGKUTI PAKAIAN, PERLAHAN TERHEMBUS OLEH BIAS YANG BERHEMBUS DARI BALIK RUMAHNYA BERSAMA KERTAS-KERTAS.
DIKEJAUHAN KELAM, SAMAR BUNTUT PERAHU, BEBERAPA TIANG TEMALI PERAHU MENGABUR. SUNYI MAKIN TERTEKAN KARENA SUARA UBRUK DIKEJAUHAN ITU SEMAKIN MENGERAS.

II

TIBA-TIBA SUNYI ITU DIPECAHKAN OLEH SUARA TERTAWA PENDEK GELI DARI SI UTAI SETENGAH PANDIR YANG BARU KELUAR DARI PINTU RUMAH MAT KONTAN. IA TERUS BERLARI DAN BERSEMBUNYI DI DEKAT POJOKAN RUMAH SOLEMAN. TERTAWANYA TERTINGGAL DI SANA. TAK LAMA SESUDAH ITU KELUAR PAIJAH ISTRI MAT KONTAN BERTERIAK SAMBIL MENCARI-CARI.

PAIJAH : Kurang ajar! Kurang ajar! Kurang ajar, si Utai sinting! (MATANYA MELIHAT JEMURAN DAN MENGAMBIL SATU PERSATU JEMURAN ITU, TETAPI IA MASIH JUGA MENCARI-CARI SI UTAI. KETAWA SI UTAI MELEDAK)
UTAI : Ampun! Ampun! (MUNCUL DARI PERSEMBUNYIANNYA SAMBIL MENGGARUK KEPALA)
PAIJAH : Babi! (TAPI KEMUDIAN TERTAWA LUCU). Ayo bawa pakaian si kecil ini ke jemuran! Eh, edan! Eh, ke jemuran (LATAH), Eh, bukan! Ke dalam!
UTAI : Saya kira saya mau dipukul tadi! (MENGAMBIL PAKAIAN) Saya sudah panas dingin (SAMBIL TERTAWA IA MASUK)

PAIJAH BERJALAN MENUJU BANGKU DI MUKA RUMAHNYA, DUDUK, BERNAFAS LEGA. TAK LAMA KEMUDIAN KELUAR UTAI TERTAWA GELI.

UTAI : Si kecil tidur lagi biarpun kepalanya panas. (TAK DIHIRAUKAN), He, kau anggap batu saja mulut saya ya?
PAIJAH : (DENGAN NADA MENGAMBANG) Sudah malam belum pulang.
UTAI : Siapa?
PAIJAH : Mat Kontan!
UTAI : Dia itu orang paling repot di kampung kita. Tidak? Tidak ha?
PAIJAH : Dari pagi belum pulang.
UTAI : He eh! Dari pagi saya belum merokok sebab dia nggak ada. Kemana sih dia?
PAIJAH : Mestinya beli burung ke Kalianda! (MELENGOS KE GANTUNGAN SANGKAR DI SAMPING). Nggak cukup satu dua. (DIAM SEBENTAR) kalau tidak, mestinya pergi taruhan. Kalau tidak ............
UTAI : (MELIHAT SESUATU TERBANG) Kalau tidak, menangkap kumbang (MELOMPAT DAN BERPUTAR-PUTAR DI HALAMAN SAMBIL TANGANNYA MENANGKAP SESUATU TAPI TIDAK KENA-KENA).
PAIJAH : Bangsat. orang omong benar dia main-main.
UTAI : (KECEWA KARENA TIDAK MENDAPATKAN). Apa tadi mpok? Apa?
PAIJAH : Si Kontan, lakiku. Mat Kontan.
SUARA TANGIS BAYI DI DALAM MENGANGETKAN PAIJAH

PAIJAH : Duuuuh! Si Kontan kecil nangis lagi, tuh! Kau sih ribut tertawa saja!

PAIJAH MASUK. UTAI KECEWA, PERGI PERLAHAN KE SUDUT RUMAH MENGAMBIL PELEPAH DAUN KELAPA. BERJINGKAT DIA PERGI, MENGHILANG DI BALIK KELAM DALAM SIUL SINTINGNYA.

III

SOLEMAN MUNCUL DARI RUMAHNYA. IA TAHU KEMANA UTAI PERGI. KEMUDIAN IA MELIHAT SEKELILING. IA DUDUK-DUDUK DI BANGKUNYA DENGAN LUTUT MENUTUP MUKANYA, TAPI ASAP ROKOK MENGEPUL DARI BALIK LUTUT ITU. KINI MATANYA MENATAP KE PINTU RUMAH MAT KONTAN LAMA-LAMA SAMBIL MEMBETULKAN SARUNG YANG MELINGKARI LEHERNYA. SEBENTAR-BENTAR KOPIAHNYA DITEKAN-TEKAN, TAPI KEMUDIAN MENOLEH MENDENGAR SUARA DIKEJAUHAN. SUARA ITU ADALAH SUARA TUKANG PIJAT, SEORANG BUTA YANG SERING MELINTAS SAMBIL MENYERET KALENG BEKAS SUSU. BARU KEMUDIAN IA MUNCUL DISAMPING RUMAH MAT KONTAN, TAPI TAK BEGITU JELAS KARENA DISANA AGAK GELAP.

TUKANG PIJAT : ( ANEH DAN SPESIFIK SEKALI) Jaaaaat.........pi, jaaaaat....pi ( BERULANG-ULANG DAN MEMBUAT KESAL SOLEMAN KARENA BUNYI KALENGNYA MEMBUAT BERISIK)
SOLEMAN : Hei ! Sudah berapa kali dibilang, jangan kelewat keras kalau lewat disini!
TUKANG PIJAT : Hee, kau Leman ? Ngak melihat pertunjukan ubruk?
SOLEMAN : Ngak. Pergi sana!
TUKANG PIJAT : (KEMBALI DENGAN SUARA KHASNYA PERGI MENGHILANG)
SOLEMAN : (BERNAFAS LEGA DAN MENGELUARKAN PISANG DARI KANTONGNYA. TAPI...)
UTAI : (DATANG DENGAN KETAWA PENDEKNYA YANG MENJENGKELKAN) Man. Bagi Man.
SOLEMAN : Ini satu lagi biang keladi. Pergi sana!
UTAI : (MEMPERHATIKAN DENGAN SEDIH KULIT PISANG YANG DIBUANG). Kalau begitu, bagi dong rokoknya!
SOLEMAN : (MENGAMBIL ROKOK KRETEKNYA DAN MELEMPARKAN SEBATANG) Pergi sana! Nanti kutendang kau!
UTAI : (SETELAH MEMUNGUT ROKOK) Terimakasih pak. (IA PUN MENGHILANG, PAIJAH MUNCUL DI PINTU RUMAHNYA).
PAIJAH : Ada apa Man?
SOLEMAN : Jahanam betul mereka!
PAIJAH : (DUDUK DI BANGKUNYA. SOLEMAN MEMANDANG PAIJAH, TAPI PAIJAH MENGHINDARI PANDANGAN ITU DENGAN MELIHAT KEARAH KEGELAPAN. SUARA KERETA API DARI JAUH SEMAKIN DEKAT, LALU MELINTAS DERUNYA DIBALIK RUMAH SOLEMAN, DISINI PANDANGAN MEREKA BERTEMU).
SOLEMAN : (MASIH MEMANDANGI PAIJAH, MEMASANG ROKOK DAN BERKATA ACUH TAK ACUH) Kau ngak keluar malam ini Jah?
PAIJAH : (TERKEJUT, MEMBALAS PANDANGAN). Ngak.
SOLEMAN : Begini gelap malamnya.
PAIJAH : Ya, gelap. Hati saya juga ikut gelap.
SOLEMAN : Kau susah Jah!
PAIJAH : Tahu sendiri saja! Ya, memang saya susah, Man.
SOLEMAN : Kau dengar suara ubruk di sana?
PAIJAH : (ANGGUK). Kudengar. Kau ngak pergi?
SOLEMAN : Ngak! Capek! Semalam suntuk saya dan lakimu main empat satu. (MELIHAT PAIJAH MURUNG). Kau murung benar!
PAIJAH : Si Kecil sakit. Kontan belum pulang. Panas saja badannya seharian ini!
SOLEMAN : Ngak dibawa ke dukun!.
PAIJAH : Dukun! Dan punya laki yang asik dengan perkutut, kepala haji, beo dan kutilang? Mana bisa jadi!
SOLEMAN : Tiap hari kau mengumpat begitu.

SUARA TANGIS BAYI MENYEBABKAN PAIJAH TERKEJUT BEGITU JUGA SOLEMAN. PAIJAH MASUK RUMAH DAN DIIKUTI OLEH SOLEMAN, DI KEJAUHAN TERDENGAR TAWA MAT KONTAN. SOLEMAN KELUAR, LEWAT SAMPING RUMAH DAN MENGHILANG).

IV

DENGAN MEMBAWA SANGKAR BURUNG MAT KONTAN TERTAWA KESENANGAN. SETIBA DI DEPAN RUMAH SOLEMAN, IA BERHENTI.

MAT KONTAN : Hei, Man! Kau masih tidur ha? (KARENA TIDAK DIJAWAB IA KETAWA LAGI) Kalah cuma lima puluh kok susah! (MENUJU SANGKAR BURUNG PERKUTUT YANG BERGANTUNG DAN BERSIUL MENIRUKAN BURUNG ITU). Hiphooo (MENGAMBIL SANGKAR DAN MELIHAT SEKELILING) Sudah hampir malam nih! Kau musti tidur, tut. Sekarang kau sudah kucarikan bini. Nih! (IA MENUNJUKKAN SANGKAR YANG BARU DIBAWA). Jah? (IA KETAWA LAGI). Paijah? (KARENA TAK DIJAWAB MAKA IA MASUK RUMAH, TAPI KEMUDIAN IA KELUAR KEMBALI DAN DUDUK DI BANGKU BAMBU SAMBIL MENGGARUK KUDIS KAKINYA. MATANYA SILAU KENA SOROT BATERI DARI TEMPAT KELAM).
MAT KONTAN : Siapa itu! Siapa itu!
SOLEMAN : (MUNCUL MENDEKAT DAN MEMPERMAINKAN CAHAYA SENTERNYA). Baru pulang Tan?
MAT KONTAN : ( TERTAWA GEMBIRA DAN MELOMPAT). Kau tahu?
SOLEMAN : Apa? Burung lagi?
MAT KONTAN : (MELEDAK TERTAWANYA). Ha! Bagaimana kau bisa menebak? Darimana kau tahu itu?
SOLEMAN : (DUDUK). Saya kira kau tadi ngobrol dengan haji Asan di tikungan gudang lelang. Betul ngak? Ha?
MAT KONTAN : Ha, kali ini kau salah tebak! Matamu sudah lamur barangkali! Bukan haji Asan, tapi Pak Pijat! Tapi itu tidak penting Man. Kau tahu perkutut yang kubawa tadi? Itu adalah perkutut yang paling mahal harganya di dunia. Uang ikan yang kita dapat kemarin dari borongan itu, saya belikan semua buat perkutut. Dan kekalahan kau yang berjumlah lima puluh itu buat ongkos mobil. (MEMANDANG SOLEMAN TERDIAM DISANGKANYA TAK MEMPERHATIKAN) Ha? Kau tak percaya ha? Mau liha? Mau lihat?
SOLEMAN : Percaya sih percaya. Tapi anakmu, si kecil, sakit kan?
MAT KONTAN : Persetan si kecil! (SADAR) O, anakku! Maksud saya tadi persetan penyakit. Mudah-mudahan ia lekas sembuh!
SOLEMAN : Kalau sembuh. Kalau tidak sembuh bagaimana?
MAT KONTAN : Ha ? Maksudmu..............mati?
SOLEMAN : (MENGANGGUK)
MAT KONTAN : Kau kira si kecil bisa mati? Mat Kontan kecil bisa mati, begitu?
SOLEMAN : Sedang Nabi bisa mati?
MAT KONTAN : Jangan takuti saya Man. Itu satu-satunya kebanggaan saya disamping burung dan bini saya Paijah. Saya telah terlanjur berdo’a pada Tuhan agar Cuma dikaruniai satu anak. Kalau si kecil mati tentu hilanglah kebanggan saya sepotong.
SOLEMAN : (TERTAWA MENGEJEK)
MAT KONTAN : Kau mengejek saya ya?
SOLEMAN : Bukan mengejek, tapi kau ngak kasihan sama satu nyawa?
MAT KONTAN : Ya kasihan!
SOLEMAN : Kau ngak kasihan sama binimu?
MAT KONTAN : Ya kasihan!
SOLEMAN : Dari tadi ia tunggu kau datang.
MAT KONTAN : Benar? Masa! Ah, tak usah repot-repot perkara perempuan.
SOLEMAN : Kau terlalu mengutamakan burung daripada binimu dan si kecil.
MAT KONTAN : Memang!
SOLEMAN : Memang. Kau tidak bangga punya bini cantik ha?
MAT KONTAN : Bangga? Sudah saya bilang tadi saya bangga. Saya kan sudah lama ngak ke kota Agung? Tadi saya ke sana. Saya bilang bahwa saya sudah punya anak satu sekarang. Anak, yang keluar dari rahim bini saya yang cantik.
SOLEMAN : Tapi kebangggaan itu tak pernah terasa oleh binimu.
MAT KONTAN : (MEMANGGIL) Paijah, Paijah!
PAIJAH : (MUNCUL). Ada apa?
MAT KONTAN : Saya akan mengatakan kepadamu bahwa saya tadi ke kota Agung dan bertemu dengan kawan-kawan lama.Saya bilang, bahwa kau sudah punya anak sekarang.
PAIJAH : Tapi sudah itu kau terus cari burung.
MAT KONTAN : (SALAH KIRA). Ha, Ijah!
PAIJAH : Tanpa memikirkan kami.
MAT KONTAN : Hah? Ah masuklah kau! Tidak mengerti urusan lelaki. Masuklah. Kami mau ngobrol.

PAIJAH MASUK

MAT KONTAN : Biniku memang manis.
SOLEMAN : (HANYA MENGANGGUK)
MAT KONTAN : Kau tahu apa yang terjadi sesudah saya bilang bahwa saya sekarang sudah punya anak? (DIAM SEBENTAR, KEMUDIAN TERTAWA). Mereka yang dulu sering mengejek saya sebagai lelaki mandul jadi konyol.
SOLEMAN : (MEMPERMAINKAN UJUNG KAKINYA, LALU MALAS MEMPERHATIKAN MAT KONTAN). Saya pulang dulu. Pintu belum dikunci.
MAT KONTAN : Nanti dulu. Hei, kan kita ada nih?

SOLEMAN TETAP PERGI KERUMAHNYA. DEPAN PINTU RUMAHNYA IA BERDIRI, SEPERTI ADA YANG DIPIKIRKANNYA. TIBA-TIBA.

MAT KONTAN : Man! (SOLEMAN TAK MENOLEH). Kau ngak enak mendengar saya ngomong sekarang ya? Kalau kau mau diganti kembali uang kekayaanmu kemarin. Baiklah!
SOLEMAN : Sesuatu yang sudah kita serahkan, sukar untuk ditarik kembali.
MAT KONTAN : Apa maksudmu? Apa maksudmu Man?
SOLEMAN : Ya, sesuatu yang sudah kau punyai sekarang, biar bagaimanapun, bukan milik saya lagi.
MAT KONTAN : Saya tak mengerti Man.
SOLEMAN : Memang kau tak pernah mengerti.
MAT KONTAN : Ha? Saya tak pernah mengerti? Saya pikir, sayalah orang yang paling mengerti tentang sesuatunya di dunia ini.

MAT KONTAN LALU PERGI KETENGAH HALAMAN, LALU MELIHAT KE LAUT DAN BERKATA SAMBIL MENUNJUK-NUNJUK.

MAT KONTAN : Saya mengerti angin, ikan, burung, wayang dan agama.
SOLEMAN : Kau juga mengerti tentang pasir? Pasir boblos?

MAT KONTA MERASA SESUATU, SEHINGGA IA TERSENTAK. DENGAN CEPAT IA MELOMPAT KE SOLEMAN, KETIKA MUKANYA TIBA-TIBA DISENTUH TRAGEDI SEHINGGA IA BERKERINGAT . DIDEKAPNYA KAWANYA ITU.

MAT KONTAN : (TAKUT). Jangan bilang tentang itu, Man. Saya paling takut kalau kau bilang perkara itu. (MELEPASKAN). O, aku takut kalau kau ulangi cerita lama itu. Saya adalah orang yang kepingin panjang umur, Man. He, kau masih ingat peristiwa itu, Man?
SOLEMAN : Masih.
MAT KONTAN : Kau masih ingat bagaimana saya kejeblos dalam pasir dan berteriak minta tolong ketika hampir mati?
SOLEMAN : (MENGANGGUK)
MAT KONTAN : Saya harap sungguh, hal itu jangan kau ceritakan lagi.

MAT KONTAN KEMBALI KE PEKARANGAN RUMAHNYA, DUDUK DIBANGKU, LAMA TERMENUNG KARENA TAKUT.

MAT KONTAN : Man. Sini Man.
SOLEMAN : Saya sudah bosan dengan cerita itu-itu juga. (TAPI KEMUDIAN IA MENDATANGI MAT KONTAN).
MAT KONTAN : Sungguh, Man. Saya kepingin hidup panjang umur. Kepingin melihat si Kontan kecil yang jadi milik saya satu-satunya. Semoga nanti persis seperti saya sifatnya.
SOLEMAN : Kalau sifatnya seperti saya bagaimana?
MAT KONTAN : (TERDIAM TERPERANGAH BERNAFAS BERAT). Itu tentu saja tak mungkin. Sedang namanya saja sudah persis seperti saya. Kau dengar? Kontan kecil! Si Kontan keci!!
SOLEMAN : Sudah pekak kuping saya mendengar lagakmu.
MAT KONTAN : Biar!
SOLEMAN : Mulai malam ini jangan ceritakan lagi tentang anakmu itu. Ceritakanlah yang lain.
MAT KONTAN : Kalau begitu cerita saya, saya tukar. Apa ya?

SOLEMAN PERGI KETEMPAT JAUH YANG AGAK GELAP. MEMPERMAINKAN KERIKIL DAN MELEMPARKANNYA JAUH-JAUH.

MAT KONTAN : (LEMBUT) Man. (SOLEMAN TAK MENYAHUT). He, Man (TAK MENYAHUT). Man. Kau iri pada saya Man? Kau iri kalau saya begitu bahagia punya istri dan anak?
SOLEMAN : Tidak. Tidak iri.
MAT KONTAN : Jadi kenapa kau benci kalau saya cerita tentang si kontan kecil?
SOLEMAN : Buat apa saya iri padamu. Kau juga sering membohongi diri sendiri. Ya, kau juga sering berlagak.
MAT KONTAN : Pasti! Pasti kau iri pada saya. Kau iri karena saya punya bini yang cantik. Seorang anak lagi yang bakal cinta pada perkutut bapaknya. Kau juga iri barangkali, sebab kalau kita main taruhan empat satu kau selalu saja kalah.

SOLEMAN KEMBALI MENDEKATI MAT KONTAN. MULANYA MAT KONTAN TAKUT TAPI SETELAH DILIHATNYA SOLEMAN TERTAWA IA HERAN. APALAGI DILIHATNYA SOLEMAN DUDUK DI BANGKUNYA DAN MAIN KERIKIL.

SOLEMAN : Ceritalah lebih banyak, Tan. Biar saya tuli.
MAT KONTAN : Jadi kalau begitu kau masih senang pada saya? Kalau begitu tebakan saya salah kali ini. Belum pernah saya menebak salah tentang dri seseorang selama ini. (DUDUK). Bagaimana saya akan menceritakan lebih lanjut tentang bini saya, ha?
SOLEMAN : (HANYA MENGANGGUK-ANGGUK KETIKA MAT KONTAN TERTAWA LEBAR)
MAT KONTAN : Bagaimana bini saya!?
SOLEMAN : Cuma satu jawabanya, cantik!
MAT KONTAN : Bagus! Lagi! Lagi!
SOLEMAN : Mengairahkan!
MAT KONTAN : Betuuuuuul, betul. Dan saya sekarang kepingin membelikan dia baju rok. (MENGELUARKAN UANG DARI KANTONG). Ini. Tadi saya menang judi.
SOLEMAN : Apa? Rok. Baju rok Sanghai kata orang itu?
MAT KONTAN : Iya! Saya lihat bini si Sadu, Si Johari dan Si Hidayat pada pakai rok model Cina sekarang. Bini Bastari sudah beranak tiga malah pakai itu.
SOLEMAN : Tapi binimu lebih bagus pakai kebaya sempit begitu.
MAT KONTAN : Kau tahu apa tentang perempuan. Buktinya kau belum punya bini sampai sekarang. Itu sudah kuno, bung.
SOLEMAN : Kuno dan tidak kuno bukan pada pakaian.
MAT KONTAN : A-ha! Persetan! Tapi kenapa kau bilang mesti berkebaya.
SOLEMAN : Pakai kebaya itu gulung kainnya sempit. Jadi bisa menggiurkan jejaka-jejaka.
MAT KONTAN : Jadi kalau begitu kau juga senang dan tergiur jika melihat bini saya memakai pakaian sempit-sempit?
SOLEMAN : (MENGANGGUK)
MAT KONTAN : (TERPERANGAH SEBENTAR, KEMUDIAN TERTAWA). Ha ! Saya senang! Saya memang senang kalau orang tergiur sampai keluar ludahnya barang sebatok kalau melihat bini saya.
SOLEMAN : Jadi kalau ada orang cinta pada binimu kau juga senang. Ha!
MAT KONTAN : Senang! Sebab itu berarti juga orang akan cinta pada saya. Bahkan saya akan potong rambutnya pendek-pendek seperti bini si Asnin! Bajunya belang-belang kuning seperti macan tutul. Itu tandanya kita sudah jaman modern. Ah, kau tahu apa tentang arti ngomong Belanda itu!
SOLEMAN : Memang enak punya bini.
MAT KONTAN : He, orang lelaki yang ngak mau berbini itu tandanya belum lelaki. Paling-paling tak berani sama perempuan. Kau tahu kambing kebiri saya yang mati? Ia mati karena kesepian! Kau lama-lama bisa jadi seperti kambing kebiri saya itu.
SOLEMAN : Kalau anakmu seperti kambing nanti bagaimana?
MAT KONTAN : Mana bisa? Karena bapaknya Raja Perkutut, anaknya tentu Raja Kutilang setidaknya. Tak mungkin seperti kambing. Si Kontan kecil adalah anakku. Bukan anakmu!
SOLEMAN : Jangan ulang lagi perkara Kontan kecil. Ceritalah tentang perkutut atau beo.
MAT KONTAN : (INGAT SESUATU) Aih, saya sudah linglung sekarang. Saya sudah dua hari ini lupa sama beo saya!
SOLEMAN : (KAGET MENDENGAR INI, IA PERHATIKAN MAT KONTAN, TAKUT).
V

MAT KONTAN MASUK RUMAHNYA. DALAM RUMAH KEDENGARAN RIBUT-RIBUT DENGAN SUARA BANTAHAN PAIJAH. SOLEMAN MASUK RUMAHNYA, MENGUNCI PINTU. KETIKA KELUAR, BERPAPASAN DENGAN SI UTAI SINTING. SOLEMAN HILANG DALAM GELAP. MAT KONTAN KELUAR DENGAN TANGAN HAMPA.

MAT KONTAN : Man, Man. (MATANYA TERTUJU KE RUMAH SOLEMAN). Man! Beo saya hilang, Man.
UTAI : (TERTAWA).
MAT KONTAN : Diam!
UTAI : (TERTAWA LAGI)
MAT KONTAN : Diam, kataku diam! (IA MENGAMBIL PELEPAH KELAPA AKAN MEMUKUL ANAK ITU).
UTAI : Ampuuuuuun. Ampuuuun!
MAT KONTAN : Kenapa kau tertawa ha?
UTAI : Jadi burung beo mamang terbang?
MAT KONTAN : Ya.
UTAI : Saya melihatnya kemarin dekat sumur.
MAT KONTAN : Diam! Jangan ngomong gila! Ini sungguh!
UTAI : Saya juga sungguh!
MAT KONTAN : Apa katamu tadi? Melihat burung saya? Beo saya dekat sumur? Ia terbang kearah sumur di belakang itu?
UTAI : (MENGANGGUK DAN TERTAWA PENDEK).
MAT KONTAN : Jangan tertawa dulu. Hayo kita cari.
UTAI : Ngak bakal ketemu mang.
MAT KONTAN : Kau permainkan diri saya ya? Ha? (MAU MEMUKUL).
UTAI : Sabar, mang. Sungguh, saya berani taruhan, ngak bakal ketemu.
MAT KONTAN : Kenapa coba, kenapa?
UTAI : Sudah mati dia, mang.
MAT KONTAN : Mati? Ayo kita cari bangkainya! Biar saya ambil lampu senter (AKAN PERGI TAPI KEMUDIAN TERHENTI).
UTAI : (TERTAWA). Tulang bakainyapun tak bakal ketemu. Mubajir susah-susah mencari.
MAT KONTAN : Apa? Apa kau bilang! Mubajir? Akan saya kubur dia.
UTAI : Ya, mubajir. Ia sudah dibawa anjing Pak Rusli kemarin.
MAT KONTAN : (MENGANCAM DENGAN MEMEGANG LEHER BAJU UTAI). Utai jangan cari gara-gara! Gua hajar nanti lu! Betul yang ini apa bohong?
UTAI : Berani sumpah Qur’an! Saya betul.
MAT KONTAN : Kalau begitu. (DENGAN SEDIH), Kau betul Utai. Kalau begitu anjing si Rusli itu yang perlu dipentung. (TAPI TIBA-TIBA MELENGOS MELIHAT PAIJAH MUNCUL).

PAIJAH MUNCUL DENGAN MUKA KESAL

PAIJAH : Perkara Beo saja ributnya sampai ke gunung Krakatau. Anaknya tak pernah dipikirkan.
MAT KONTAN : Diam kau!
PAIJAH : Apa? Diam? Kalau anak itu mati bagaimana?
MAT KONTAN : Itu bukan anak saya.
PAIJAH : (MENIRUKAN). Itu bukan anak saya, tapi di warung kau sibuk membanggakannya.
MAT KONTAN : (SADAR KEMBALI). Ha! Memang anak saya. Memang! Memang ia saya banggakan di mana saja. Tapi kau juga ikut memikirkan masalah burung ini?!
PAIJAH : Emoh!

PAIJAH MASUK.

UTAI : (TERTAWA MENIRUKAN). Emoh!
MAT KONTAN : Bagaimana Beo-ku?
UTAI : Lehernya berdarah!
MAT KONTAN : Leher Beo-ku berdarah? Iya?
UTAI : (TERTAWA MELINGKAR–LINGKARKAN BADANNYA).
MAT KONTAN : Soleman mana? Soleman mana?
UTAI : Mau apa sama dia?
MAT KONTAN : Kita ajak ia ke tukang nujum.
UTAI : Kenapa burung mati mesti di nujum?
MAT KONTAN : Ya, mesti. Mana si Leman. He, geblek! Mana dia ha?
UTAI : Buat apa sih dinujum? Mau ditanya masuk sorga atau neraka?
MAT KONTAN : Diam, setan! Kita mau nujum siapa yang memotong lehernya. Kalau kedapatan akan kubunuh dia! (MEMANGGIL SOLEMAN).

PAIJAH KELUAR MENJENGUK DENGAN CEMAS.

MAT KONTAN : Pergi berjudi dia barangkali.
UTAI : Kalau begitu kita pergi berdua saja.

MEREKA BERDUA PERGI MENGHILANG DALAM KELAM.

VI
PAIJAH MERASA LEGA LALU IA MASUK KE DALAM. IA KELUAR MENUJU RUMAH SOLEMAN

PAIJAH : Man! Leman (TAPI SETELAH SADAR PINTU DI KUNCI, BERLARI KE SAMPING DAN DUDUK DI BANGKU. PAIJAH KAGET AKAN CAHAYA SENTER KE MUKANYA, IA BERDIRI DAN SEDIKIT GEMBIRA IA BERJALAN MENGHAMPIRI SOLEMAN DI HALAMAN. SOLEMAN MENGAJAK PAIJAH DUDUK DI BANGKU RUMAHNYA, SEDANG IA MASIH MEMPERMAINKAN CAHAYA SENTER KE PINTU RUMAH MAT KONTAN).
SOLEMAN : Kenapa mukamu pucat?
PAIJAH : Saya cari kau tadi Man.
SOLEMAN : Laki-mu pergi?
PAIJAH : Ya, ke tempat nujum.
SOLEMAN : Begitu jauh, ada dua kilo setengah, kan?
PAIJAH : Ah, betul-betul edan dia. (BERDIRI MEMBELAKANGI). Betul-betul edan dia, tidak mengerti perasaan perempuan.
SOLEMAN : Kalau saya laki-mu tentu saya mengerti.
PAIJAH : (TIBA-TIBA MEMBALIK). Man!
SOLEMAN : Apa? (MENYENTER MUKA PAIJAH).
PAIJAH : Saya takut tadi, Man. Saya dengar ia mau bunuh orang. Dan kau dicarinya Man.
SOLEMAN : Ia nggak berani pada saya. Apalagi mau bunuh!
PAIJAH : Tapi ini betul-betul Man. Burungnya, beo itu-mati!
SOLEMAN : (KAGET) Lalu? (IA BERDIRI DAN MELIHAT KESAMPING RUMAHNYA, ADA KECEMASAN DI DALAM DIRINYA KALAU-KALAU MAT KONTAN DATANG. DARI JAUH SOLEMAN BERSUARA, TANGANNYA MENYENTER TUBUH PAIJAH). Lalu bagaimana?
PAIJAH : Burung itu mati. Kau tahu kan beo itu? Yang sering kau permainkan kalau kau kerumah saya?
SOLEMAN : (DATANG MENDEKATI PAIJAH) Lalu?
PAIJAH : Lehernya berdarah. Dan ia akan bunuh siapa saja yang memotong leher burungnya itu (DENGAN MATA MENGHARAP) Man.
SOLEMAN : (DENGAN PANDANGAN PENUH GAIRAH). Apa?
PAIJAH : Saya takut.
SOLEMAN : (SENYUM BERGAIRAH). Takut apa?
PAIJAH : Takut sama lakiku. Jika ia menuduh saya yang membunuh bagaimana?
SOLEMAN : Kau merasa memotong leher itu apa tidak? (DILIHATNYA PAIJAH MENGGELENG). Nah, ngak usah kuatir.
PAIJAH : Tapi Mat Kontan sering kalap.
SOLEMAN : (MEMEGANG BAHU PAIJAH DAN MENDUDUKAN DI BANGKU. IA MEMASANG ROKOK SETELAH MENENANGKAN PAIJAH). Biar bagaimanapun ia marah, ia takkan bunuh kau. Sebab kau salah satu kebanggaan dia. Jadi biar bagaimanapun salah kau, ia akan memaafkan.
PAIJAH : (MENANGIS TERISAK)
SOLEMAN : He, jangan seperti si kecil nangis. Kau malah harus mendiamkan anakmu yang nangis, kan? (TANGAN MEMBELAI RAMBUT PAIJAH).
PAIJAH : (LARI MELOMPAT, TAPI DIBURU DAN TANGANNYA DITARIK SOLEMAN, IA MEMBIMBING PAIJAH KE BANGKU RUMAHNYA)
SOLEMAN : Kau jang kuatir. Nanti aku yang membela kau.
PAIJAH : Tapi saya takut dengan goloknya. (MELIHAT MUKA SOLEMAN DAN BERKATA SETENGAH MENANGIS) Sungguh!
SOLEMAN : Ah, percayalah. Seiris bawangpun ia tak berani melukaimu!
PAIJAH : Jadi apa kataku bila ia menanyai saya?

SOLEMAN CUMA TERCENUNG BERFIKIR. DENGAN MEMPERMAINKAN SENTER IA PERGI KE TEMPAT YANG JAUH KELAM. SUARA UBRUK MENGERAS.

PAIJAH : (SETENGAH MARAH, AGAK MENJERIT). Kau diam!
SOLEMAN : Ya, karena itu juga suatu hal yang sulit.
PAIJAH : Tapi katamu tadi gampang.
SOLEMAN : Gampang buatku, karena saya lelaki!
PAIJAH : Carilah jalanya sebelum ia kembali!
SOLEMAN : Jalan satu-satunya, karena saya lelaki ialah: menghadapinya sebagai lelaki!
PAIJAH : Apa? Apa maksudmu?
SOLEMAN : Kalau kau disentuh saja, akan saya sentuh pula dia. Kalau kau dilukainya, akan saya lukai dia! Dan kalau kau di bunuhnya, akan saya bunuh dia (BERJALAN PELAN MENDEKATI PAIJAH)
PAIJAH : Jangan Man. Kita akan buyar, malu dan di usir dari sini.
SOLEMAN : Ya, terpaksa begitu. Sebab saya bukan penakut. Saya jantan. Dan saya punya sejarah turun-temurun.
PAIJAH : Sejarah turun-temurun?
SOLEMAN : Ya. (TERDUDUK) Ayah saya jahanamnya juga seperti saya ini. Ia jahanam, biarpun ibu saya syah untuk bininya. Tapi ini tak usah saya ceritakan Jah!
PAIJAH : Ceritakan, Man. Yang satu ini.
SOLEMAN : Saya akan mengutuk karenanya!
PAIJAH : Ceritakanlah, Man. Kenapa?
SOLEMAN : (MEMANDANG PAIJAH DENGAN ANEH) Karena perempuan ia mati. Karena perempuan ia jahanam. Tapi aku akui, ia lelaki tulen.
PAIJAH : (JADI GELISAH)
SOLEMAN : Lelaki tulen juga bisa mati karena takut. Ia takut menghadang pucuk senapan, sehingga ia mati membelakangi! Dan ketika ia lari itu ia ditembak. Ia ditembak, sebab bini orang yang dijahanaminya itu ialah bini polisi. Tapi saya sudah besar ketika itu dan dapat membayangkan membalas dendam. Kenapa ia akhirnya takut? Saya tak mengerti kenapa si pemberani bisa takut kemudian. Tapi, betapun, ia lelaki tulen, Jah. Lelaki tulen dengan darahnya yang benar-benar merah.
PAIJAH : (LEMBUT KARENA TAKUT). Kau juga takut Man?
SOLEMAN : Cukup bapak saya saja! Sayat tidak akan. Saya adalah kelanjutan dia, karena ia mewariskan saya!
PAIJAH : Kau akan bunuh Mat Kontan?
SOLEMAN : Belum pasti. Tapi saya ingat pepatah seorang Padang. Kau kenal Angku Buyung? (PAIJAH MENGANGGUK). Ialah yang menceritakan pepatah itu dan meresap pada diri saya.
PAIJAH : Apa katanya, Man?
SOLEMAN : Musuh pantang dicari, tapi jika datang pantang kau elakkan. Saya tidak akan memusuhi Mat Kontan. Tapi jika Mat Kontan akan menyerang saya, saya pantang lari, bahkan membalas.
PAIJAH : Jangan Man!
SOLEMAN : Pasti dia tak berani membacok saya!
PAIJAH : Kalau kau memang tak apa! Tapi saya, perempuan lemah ini, bagaimana bisa jadi?
SOLEMAN : Kau jangan takut. Karena lelaki bersifat melindungi. Lelaki seperti kata bapak saya: harus berdarah tajam yang mengalirkan warisannya melewati siapa saja yang rela!
PAIJAH : (LEMBUT) Kenapa kau tak kawin saja, Man?
SOLEMAN : Kawin cuma satu tanggungan, menyebabkan kita berotak dua. Ya saya tahu kemudian, bahwa ibu saya juga sejahanam ayah saya karena ia rela dijahanami lelaki lain. Saya takut kawin, karena saya kwatir jika istri saya dijahanami lelaki lain.

SOLEMAN PERGI KE RUMAHNYA, TAPI PAIJAH MENGIKUTINYA.

SOLEMAN : (MELARANG) Kau di situ saja menjelang ia datang. Saya di sini (MENUNJUK BANGKUNYA).
PAIJAH : Saya takut, Man.
SOLEMAN : Disana saja kata saya!

BENTAKAN SOLEMAN INI MENYEBABKAN PAIJAH TAKUT DAN KEMBALI KE BANGKUNYA

PAIJAH : (SETELAH MENGELUH DAN MEMANDANGI SOLEMAN YANG TERPEKUR ) Man. (SOLEMAN MUAK). Man, kau dengar suara saya? Kau dengar suara saya? (SOLEMAN TETAP MENUNDUK). Saya menyesal sekarang, Man!
SOLEMAN : (KAGET DAN MENGANGKAT KEPALANYA) Menyesal?
PAIJAH : Ya, menyesal.
SOLEMAN : Ulangi!
PAIJAH : Menyesal, karena begini jadinya. Nanti akan terbuka juga rahasia kita. Tapi tak apa! Saya kepingin punya anak, dan anak itu telah saya dapatkan.
SOLEMAN : (BERDIRI) Kenapa kau menyesal? (PAIJAH HANYA MENGHAPUS AIR MATANYA). Jah! Anak itu takkan saya ambil. Jah.

SOLEMAN MENDEKATI PEREMPUAN ITU. TAPI TANGIS PAIJAH SEMAKIN MENJADI. SOLEMAN PERGI KE GELAP MALAM

SOLEMAN : (PERLAHAN) Saya ingat, Jah. Macam begitu tangismu dulu mengisak meminta kepada saya. Sekarang kalau menyesal. Buat apa kita menyesal. Saya juga tak pernah menyesal harus jadi jahanam kapiran begini. Ya, tidak karena dalam diri manusia, betapun kecilnya, ada jahanamnya. Cuma saja ada yang tak sempat dan tak sanggup menjalankan. Dan kita adalah orang yang kebetulan sanggup. Kenapa kita menyesal, Jah?

TIBA-TIBA IA MEMBALIKKAN BADAN SETELAH KEDUANYA BERDIAM LAMA. SOLEMAN MENDEKATI PAIJAH DAN DUDUK DISAMPINGYA

SOLEMAN : (SETELAH MENYENTER SEKELILING) Begitu sepi semuanya. Alangkah enaknya jika beginian terus, dunia ini ada kita berdua saja!
PAIJAH : ( HANYA MEMANDANGI WAJAH SOLEMAN)
SOLEMAN : Kau kwatir pada hari matimu bila maut tiba?
PAIJAH : (HANYA MENGANGGUKKAN KEPALA)
SOLEMAN : Mungkin saya juga, Jah. Sekarang saya lebih baik mengaku saja (MEREKA KINI SALING PANDANG). Saya juga punya takut. (DIAM) Mungkin juga Nabi. Tapi Jah, saya bunuh beo itu, karena binatang jahanam itu telah menyiksa saya!
PAIJAH : (TERKEJUT MENDENGAR BERITA ITU) Apa? Kau bunuh? Kau yang memotong lehernya?
SOLEMAN : Ya. Kau ingat Jah? Kau ingat, bahwa ketika saya mengganggumu, ketika si kecil masih berumur sebulan? Kau bilang: “Jangan ganggu saya. Man! Jangan ganggu saya!”, dan perkataan itu diulangi oleh beo itu. Dua hari yan lalu, ketika saya pegang tanganmu dan kau bilang : “Jangan ganggu saya”, beo keparat itu mengulangi lagi. (SETELAH MENELAN NAFAS). Karena itu ia saya potong lehernya. Saya potong dan saya lempar ke dekat sumurmu.
PAIJAH : Kita bisa celaka!
SOLEMAN : Akan saya hadapi semua yang menantang, Jah! (SETELAH MERASA NGERI, IA BERSUARA MENGHADAP PAIJAH DENGAN GEMETAR). Biar bagaimanapun saya akan menghadapi maut!
PAIJAH : (MENANGIS)
SOLEMAN : Kenapa jadi menangis, hah? Saya hanya akan mengabulkan apa yang kau minta dulu dan telah saya beri. Anak itu telah lahir. Kalau saya mati karena lahirnya dia, itu berarti saya akan bernasib sama dengan bapak saya. Tapi semoga cucu bapak akan meneruskannya, sebab perjuangan kakeknya belum selesai.
PAIJAH : Tidak, Man! Si kecil tidak akan.
SOLEMAN : Itu mungkin jalan menyimpang dari kemauan saya.
PAIJAH : Cukup kita saja yang jadi jahanam terkutuk.
SOLEMAN : Ya, karena sekarang kau sudah menyesal, sih.
PAIJAH : (SETELAH BERFIKIR SEBENTAR, TIBA-TIBA IA KAGET). Man!
SOLEMAN : Apa?
PAIJAH : Sebentar lagi tentu mereka datang. Man, saya takut Man!
SOLEMAN : Tenang saja. Tenang saja.
PAIJAH : Kalau saya dipaksa bagaimana?
SOLEMAN : Bilang saja saya yang membunuhnya. Saya, Soleman.
PAIJAH : Saya nggak mau, Man!
SOLEMAN : Kenapa? Kenapa he?
PAIJAH : (LEMBUT PELAN) Saya nggak mau. Ada orang mati karena saya, dan orang itu kau.
SOLEMAN : Kalau saya mati itu bukan karena kau. Itu juga karena saya ikut berjahanam!
PAIJAH : (MENANGIS TERISAK) Tidak, Man. Tidak bisa, Man.

SUARA BAYI DI DALAM MENGEJUTKAN MEREKA.

SOLEMAN : Mintalah doa restu di ubun anak itu.
PAIJAH : Putuskan dulu yang ini! Jika ia minta keterangan kenapa Soleman membunuhnya, bagaimana?
SOLEMAN : Pertanyaan itu tidak saya bolehkan kau menjawabnya. Pertanyaan itu hanya untuk saya. Dan saya akan menjawabnya. Pergilah masuk! Anak itu rupanya tambah sakit.
VII

PAIJAH MASUK, TINGGAL SOLEMAN YANG GELISAH LALU MEROKOK, TAPI ROKOK ITU BARU DIHISAP LALU DIMATIKANNYA. IA PERMAINKAN SENTERNYA KARENA GELISAH, LALU PERGI MENUJU KEJAUHAN, MELEMPARKAN BATU LALU KEMBALI LAGI. PAIJAH KELUAR SEBENTAR TAPI MASUK LAGI SEBAB DARI JAUH TAWA UTAI SUDAH DIDENGAR. TAK LAMA KEMUDIAN MAT KONTAN DAN UTAI TIBA DI HALAMAN

UTAI : (TERTAWA).
MAT KONTAN : Diam! Orang kesusahan, kamu tertawa! (TIBA-TIBA MATANYA MELIHAT SOLEMAN).
SOLEMAN : Dari mana?
MAT KONTAN : (MENDEKATI MENGABARKAN BERITA SEDIH) Man, burungku beo yang kubeli seribu itu mati.
UTAI : (LARI MENGEJAR SERANGGA YANG TERBANG, MENCOBA MENANGKAPNYA TAPI TAK BERHASIL TERUS MEMBURU).
SOLEMAN : Sebaiknya jangan pikirkan yang sudah mati itu.
MAT KONTAN : Apa? Jangan dipikirkan? Apa kau kira saya ini gila ha?
SOLEMAN : Siapa tahu Tan nanti ada saja rejeki numpuk, kau beli yang lebih mahal.
MAT KONTAN : Apa kau kira beo semacam itu ada tandingannya di pojok dunia ini? Dua tahun saya memeliharanya?! Sekarang barangkali lebih dari harga mobil dokter Ajad yang mungil itu.
SOLEMAN : Kau selamanya selalu merasa selalu yang paling, yang paling. Sehingga kau sendiri jadi pangling!
MAT KONTAN : Jangan coba-coba hina saya ya! (KEPADA UTAI). Hei. Berhenti main gila itu! Saya bisa tambah gila. Ayo berhenti! (UTAI DUDUK DI BANGKU RUMAH MAT KONTAN).
MAT KONTAN : Sedang anak gila itu (MENUNJUK UTAI). Dia bisa pikir dan sedih atas kematian beo-ku. He, Utai. Kau kan sedih ya.
UTAI : Ya!
MAT KONTAN : (MENGAMBIL ROKOK DAN MELEMPARKANNYA) Kau memang jempolan.

UTAI MENGAMBIL ROKOK DAN MINTA API LALU DUDUK DITEMPATNYA SEMULA

MAT KONTAN : (KEPADA SOLEMAN) Otakmu dimana sekarang. Dimana ha?
SOLEMAN : Saya cuma menganjurkan. Tapi sedih sih ya ikut sedih!
MAT KONTAN : Betul? Betul sedih? (TERTAWA SENANG). Kemana kau tadi tidak nongol ketika saya cari agar bersama ke tukang nujum! (BERNAFAS KARENA TAK DIJAWAB). Saya kira malam ini paling jahanam dalam hidup saya.
SOLEMAN : Belum tentu.
MAT KONTAN : Siapa bilang belum tentu? Tukang nujum yang biasa meramalkan nasib saya itu sudah mati pula empat hari yang lalu (MELIHAT UTAI YANG MEMPERMAINKAN ROKOK DIBANGKUNYA). Hei, jangan dibakar bangku bagus itu! Panggil mpok Ijah!

UTAI MASUK KE DALAM DAN KELUAR KEMBALI BERSAMA PAIJAH. PAIJAH MEMANDANG PADA SOLEMAN, SOLEMAN MENGATAKAN SESUATU DALAM PANDANGANNYA

MAT KONTAN : Hei Jah! Siapa kiramu yang memotong leher burungku!
PAIJAH : (MENGGELENG) Mana saya bisa tahu?
MAT KONTAN : (MENIRUKAN) Mana saya bisa tahu? (MENGHARDIK) Atau kau sendiri ya? Iya? (BERDIRI MENYEBABKAN PAIJAH TAKUT) Kau potong mau dimakan? Di sate? Begitu? (MENDEKATI) Jawab!

SOLEMAN BERDIRI SEMUA PANDANGAN TERCEKAM DISINI.

MAT KONTAN : Ayo jawab!
SOLEMAN : Dia sakit tuh Mat! Tuh mukanya kan pucat. Barangkali........
MAT KONTAN : Jangan urus urusan orang lain, Leman. Nanti saya ikut mata gelap pada kau! (SADAR MELIHAT PAIJAH MENANGIS).

PAIJAH MASUK DIIKUTI MAT KONTAN. UTAI, SETELAH DIISYARATKAN SOLEMAN IKUT MASUK. SOLEMAN BERDIRI DI PINTU DAN GELISAH

SUARA PAIJAH : Buat apa burung itu untuk saya. Si bayi lebih penting.
SUARA MAT KONTAN : Ee, jangan ngotot! Jawab dulu siapa yang bunuh.

KEMUDIAN TERDENGAR TANGIS PAIJAH, TANGIS BAYI DAN SUARA MAT KONTAN YANG TIDAK TENTU

SUARA PAIJAH : Kalau tidak, bunuh saja saya, nih sama golok!
SUARA MAT KONTAN : Ee, jangan main-main sama saya ya? Saya ini Mat Kontan. Setiap orang punya utang harus dibayar dengan kontan. Jawab!
SUARA PAIJAH : Saya tidak tahu!
MAT KONTAN : Bangsat! O Tuhan! Bilanglah oleh-Mu ya Nabi Adam, siapa yang sebiadab ini membunuh burung saya. O Nabi Yakub. Bini saya juga bangsat dan bodoh! Kenapa dunia ini makin tolol Tuhanku?
PAIJAH : Kalau kau paksa juga saya akan minggat!

PAIJAH KELUAR MENGGENDONG BAYI YANG MENANGIS. LARI KE BANGKU DAN DUDUK SETENGAH TAKUT. MAT KONTAN MENYUSUL

MAT KONTAN : Jangan kau lari. Awas!

VIII

PAIJAH DUDUK DAN MEMBELAI KEPALA ANAKNYA YANG TETAP MENANGIS. SOLEMAN MEMPERHATIKAN MAT KONTAN YANG TAMBAH GUGUP. MAT KONTAN MEMANDANGI SOLEMAN, MATANYA SEPERTI MEMINTA SESUATU. SOLEMAN MENANTANG MATA MAT KONTAN DENGAN PANDANGAN JANTAN

MAT KONTAN : Apa yang akan ku lakukan.
SOLEMAN : Lakukanlah semaumu. Itu urusan kau!
MAT KONTAN : (KEPADA PAIJAH) Ya ayo pergi kalau kau betul-betul mau minggat. Kemana kau bisa minggat, coba kemana?
PAIJAH : (TETAP TUNDUK MENANGIS) Ke rumah pamanku.
MAT KONTAN : (MENGEJEK) Ke rumah pamanku. Pamanmu adalah orang yang paling miskin di dunia, tahu! Bukankah?
PAIJAH : Tapi saya harus kesana!
MAT KONTAN : Pergilah! Pergilah sana! Tapi anak itu jangan kau bawa. Anak itu adalah anak saya tahu!
PAIJAH : Bukan! Ia adalah anak saya yang pasti, sebab ia keluar dari rahim saya sendiri.
MAT KONTAN : Apa katamu, apa?
PAIJAH : Ya! Untuk dia ini saya pernah berkorban segalanya!
MAT KONTAN : (AKAN MASUK BERDIRI DI PINTU) Kalau begitu kau memang harus jadi korban (TAPI MATANYA MELIHAT PADA SOLEMAN).
PAIJAH : (JADI TAKUT, LALU MELIHAT PADA SOLEMAN TAPI MATA SOLEMAN TERTUJU PADA MAT KONTAN).
MAT KONTAN : Ia telah membinasakan hati saya! Man! Ini harus saya balas Soleman.
SOLEMAN : (HANYA MEMANDANGINYA)
MAT KONTAN : (BERTERIAK) Jawablah saya, Leman! (TAPI IA LEMAS MENANTANG MATA JANTAN ITU, SEHINGGA IA TERKULAI, TERJATUH DIDEPAN PINTU).
UTAI : (TERTAWA MELIHAT ITU)
MAT KONTAN : (BANGKIT, MARAH) Hai! Kau mau kubunuh ya? Ya? (AKAN MENGEJAR UTAI, TAPI ANAK ITU LARI MENGHILANG).
MAT KONTAN : (LEMAS) Kalian semua ini jahanam.
SOLEMAN : Saya jangan kau ikut-ikutkan Mat!
MAT KONTAN : (KEPADA PAIJAH) Kau telah menyedihkan hati saya. Kau adalah bini saya jadi kau juga harus bertanggung jawab atas burung kesayangan saya karena saya juga sayang padamu.
PAIJAH : (SETELAH MEMANDANGI SOLEMAN) tapi kau juga laki saya, tapi sayangmu Cuma di mulut. Jadi kau bukan laki saya.
MAT KONTAN : Bilang sekali lagi bahwa saya ini bukan lakimu!
PAIJAH : (MEMBELAI KEPALA ANAKNYA YANG MENANGIS). Kau tak pernah memikirkan anak saya ini. Tapi dimana saja kau banggakan ia!
MAT KONTAN : (BERUBAH LALU MENDEKATI ANAKNYA) tapi ia belum begitu sakit. Seluruh anak kecil dikampung kita ini memang sedang musim sakit.

MAT KONTAN JADI LETIH, LALU MELEPASKAN NAPAS PANJANG IA BERKATA-KATA SESUATU TAPI TAK JELAS

MAT KONTAN : (KEPADA SOLEMAN) Man! Burung itu baru beberapa waktu yang lalu bisa ngomong dengan jelas. Kau tahu apa yang dibilangnya ketika masih hidup? Ketika saya dekati, ia bilang,” Jangan cubit saya! Jangan cubit saya!” Kenapa burung bisa berkata seperti manusia?
SOLEMAN : (MELIHAT SI ANAK TAMBAH MENANGIS,. LALU MENDEKAT DAN MEMEGANG KEPALA ANAK ITU) Mari saya gendong anak ini Jah!
MAT KONTAN : (KAGET BERDIRI) Jangan sentuh anak itu! Itu anak saya.
SOLEMAN : (TIDAK JADI MENGAMBIL). Baiklah! Itu sudah kepunyaan kau sekarang. Tapi saya ingin bertanggung jawab atas nyawanya.
MAT KONTAN : Apa kau punya hak atas nyawanya?
SOLEMAN : Biar bagaimanapun, ia adalah anak manusia bukan anak burung.
MAT KONTAN : Diam kau babi! Diam kau sebelum saya hantam!
SOLEMAN : Sekarang, apa yang akan kau lakukan sebagai lelaki, sebagai bapak, sebagai Mat Kontan yang selalu membayar kontan?
MAT KONTAN : Cari dulu siapa pembunuh burung saya. Ia juga harus dihajar dengan kepal tinju ini (MENGACUNGKAN TINJUNYA).
SOLEMAN : Kau tak kan berani. (MELIHAT PAIJAH, PAIJAH TAKUT).
MAT KONTAN : Apa? Apa kau bilang barusan?
SOLEMAN : Kau tak kan berani sebab kau pengecut paling besar di dunia Tuhan ini!
MAT KONTAN : Kalau saja ahli nujum itu belum mati (HERAN IA MELIHAT SOLEMAN YANG PERGI BEGITU SAJA KE RUMAHNYA). He, dengar! Kalau saja saya tahu, saya akan hajar dia! (MELIHAT PADA PAIJAH DAN MENGANCAM). Kau juga! Malam ini juga harus kau tunjukkan padaku siapa pembunuhnya!
PAIJAH : (MELIHAT ANAKNYA YANG MENANGIS) Saya tak mau!

PAIJAH PERGI MASUK RUMAH, MAT KONTAN MENYUSUL. SOLEMAN MASUK DALAM RUMAHNYA BURU-BURU, LALU KELUAR KEMBALI MENYARUNGKAN GOLOKNYA DI BALIK SARUNGNYA, AGAR TAK TAMPAK. SOLEMAN MENDENGAR DI BALIK PINTU RUMAH MAT KONTAN, PERTENGKARAN YANG TERJADI DI DALAM. SOLEMAN JADI HERAN, MELIHAT PAIJAH YANG TIBA-TIBA MELONCAT KELUAR DAN MENDEKAP PADANYA

MAT KONTAN : (MENGANCAM) Lepaskan dekapan itu!
PAIJAH : (TERUS MENDEKAP). Man, tolong lindungi saya Man!
MAT KONTAN : Ayo lepaskan sebelum kuambil golok!
PAIJAH : (MELIHAT SOLEMAN YANG DIAM SAJA, JADI GERAM) Man, kau diam saja!
SOLEMAN : (HANYA MENANTANG MATA MAT KONTAN DENGAN DADA YANG SESAK).
MAT KONTAN : Kau juga harus melepaskan dia! He, Soleman (JADI GERAM MELIHAT SOLEMAN) Lepaskan dia! Dia bukan binimu!
PAIJAH : (MENGGUNCANG SOLEMAN) Jawab. Jawab Man!

KETIKA SOLEMAN DIAM SAJA, PAIJAH MELUDAHI MUKA LELAKI ITU. LALU IA MELEPASKAN DEKAPANNYA DENGAN SANGAT BENCI DAN DIA BERLARI KE BANGKU RUMAH SOLEMAN

MAT KONTAN : (PADA PAIJAH) Paijah! Jangan kau lari kesana. Jangan kau lari kesana! Jangan kau berteduh di bawah atap rumah lelaki yang bukan lakimu.
PAIJAH : (BERGAYUT PADA SANDARAN BANGKU) Leman pengecut! Jawablah si Kontan itu Man!

SOLEMAN TETAP BUNGKAM, MAT KONTAN MENDEKATINYA BIARPUN HATINYA TAKUT SEKALI

MAT KONTAN : Jadi kau tahu ya, siap yang membunuh beo saya ha?
SOLEMAN : (MEMANDANG KE WAJH PAIJAH)
PAIJAH : Jawablah Man, sebelum kau dicincangnya!
SOLEMAN : (MEMANDANG MAT KONTAN SEHINGGA MAT KONTAN MUNDUR. KETIGANYA SALING PANDANG DENGAN LIAR. KETIGANYA SALING BENCI).
MAT KONTAN : (AKAN MASUK KERUMAH DAN MENGANCAM KEDUANYA) Kalau begitu akan saya ambil golok. Akan saya bunuh kalian keduanya bila tak ada yang mengaku!
PAIJAH : Mat Kontan lakiku (SETELAH DILIHAT MAT KONTAN, IA MEMANDANG SOLEMAN MENGEJEK) Saya bunuh burungmu itu.
MAT KONTAN : (MELANGKAH) Kenapa burung saya kau bunuh?
PAIJAH : Karena ia selalu mengejek saya!
MAT KONTAN : (HERAN BERJALAN MENDEKATI) Dia mengejek kau? Ha?
PAIJAH : Dia mengejek saya dengan perkataan itu, jangan cubit saya! Jangan cubit saya! (SAMBIL MELIHAT SOLEMAN).
MAT KONTAN : (MAKIN MENDEKATI PAIJAH).
PAIJAH : Hancurkan diri saya! Coba! (LALU MENANGKUP BANGKU).

IX

SOLEMAN HANYA MEMANDANGI SAJA, SEDIKITPUN IA TAK MELANGKAH. PAIJAH BANGKIT DAN MEMANDANGNYA GARANG

PAIJAH : Hai lelaki pengecut! Bukankah kau bilang, berjanji akan melindungi saya ha? Kau diam saja sekarang kayak tunggul!
MAT KONTAN : (HERAN MEMANDANG SOLEMAN)
SOLEMAN : (BARU KEMUDIAN BERJALAN SELANGKAH) Saya hanya kepingin melihat melihat kau takut. Juga kepingin melihat Mat Kontan takut. Dan juga kepingin merasakan kalau saya takut, seperti yang bapak saya alami!
PAIJAH : Kau takut ya?
SOLEMAN : Saya kepingin melihat Mat Kontan menyentuhmu seujung kumis nyamuk. Melukaimu barang seiris bawang. Tapi rupanya ia tak berani.
PAIJAH : Jangan kau bikin gara-gara memanasi dia, Soleman keparat. Akuilah dulu perbuatan kau!
MAT KONTAN : (PADA PAIJAH) Jadi Soleman tahu siapa yang bunuh burungku?
PAIJAH : Ya, ia yang tahu!
MAT KONTAN : Tapi kenapa kau yang mengaku ha? (GIGINYA GEMERETAK).
PAIJAH : Karena saya kasihan melihat dia begitu pengecut tadi.

MENDENGAR INI SOLEMAN JADI GERAM, LALU BERTERIAK

SOLEMAN : Sayalah yang membunuh burung beo itu! (BERJALAN LAMBAT MENDEKATI MAT KONTAN)
MAT KONTAN : (MEMANDANGI AGAK TAKUT)
SOLEMAN : Sayalah yang melakukannya!
MAT KONTAN : (BERPUTAR MENGAMBIL TEMPAT DEKAT RUMAHNYA) Jadi kenapa kau bunuh dia? Kau iri pada saya ya?
SOLEMAN : Ya, saya iri!
MAT KONTAN : Memang benar tebakan saya tadi.
SOLEMAN : Ya! Saya iri pada semua yang kau punyai. Pada uangmu, pada binimu, pada anakmu, pada burungmu. Dan pada kesombongan kamu!
MAT KONTAN : Memang kau jahanam!
SOLEMAN : Memang saya jahanam. Tapi kau juga jahanam (DAN MEMBALIKAN BADAN KEARAH PAIJAH) Kau juga jahanam. Dan burung itu juga jahanam! (LAMBAT) dan anak yang menangis itu juga jahanam.
MAT KONTAN : Kenapa kau hina anak saya ha?
SOLEMAN : Ia bukan anakmu!
MAT KONTAN : Apa katamu?
PAIJAH : Soleman!
SOLEMAN : Sekarang kau jangan banyak omong. Jah, malam ini malam yang menentukan kita semuanya. Ya, si Kontan kecil itu memang bukan anakmu, Mat!
MAT KONTAN : Anak siapa coba?

SOLEMAN BERJALAN LAMBAT MENUJU KETEMPAT KELAM, SUARANYA SEPAROH MENGAMBANG

SOLEMAN : Saya percaya, kau sendiri belum yakin selama ini bahwa ia itu anakmu. Kau sering menebarkan berita setelah anakmu lahir kemana saja untuk menutupi hal itu. Hal, bahwa sebenarnya kau bukan lelaki. (MEMBALIK BADAN DENGAN CEPAT). Dan itu menyakitkan hati saya, sebab kesombongan yang satu ini bukan kau punya dengan syah. Dan saya juga tidak bisa mempunyainya dengan syah. Sebab surat nikah ada di tangan kau, Kontan.

SOLEMAN LALU DUDUK DI BANGKU MAT KONTAN

SOLEMAN : Bangku ini juga jahanam! Karena Paijah sering duduk di sini terkadang sampai malam. Dan saya duduk di sana (MENUNJUK BANGKUNYA) Kami saling memandang ( KEPADA KONTAN). Kenapa kau sering tak di rumah, Tan? Itu juga perbuatan yang jahanam.
MAT KONTAN : Sekarang jawab saja dengan pendek, jangan bikin saya botak. Anak itu anak siapa?
SOLEMAN : (BERDIRI)
PAIJAH : (SETENGAH MENANGIS) Jangan kau bilang Man!
SOLEMAN : (BERJALAN MENDEKATI KONTAN DENGAN PANDANGAN YANG MENCEKAM PADA PAIJAH) Akan saya jawab. Kau rela? (PENDEK LAMBAT) Anak itu anak saya dari darah daging saya!
MAT KONTAN : Biadab kalian!

IA BERLARI KE PINTU RUMAHNYA, TAPI TERHENTI MENDENGAR ANAK MENANGIS

PAIJAH : Anakku mau dibacoknya! (MELOMPAT, TAPI TERTELUNGKUP)
SOLEMAN : (MEMBIARKAN SEMUA INI BERLALU) Kau berteriak minta tolong, di pantai pasir Boblos. Kau ingat itu, Tan? (SUARANYA LEMBUT) Kau minta satu ujung napas agar kau hidup panjang.

MAT KONTAN MENDENGAR HAL INI JADI KUYU, MUKANYA BERPELUH. SEPERTI TERSENTAK DARI MIMPI, IA LEMPAR GOLOKNYA DAN MELOMPAT MEMELUK SOLEMAN

MAT KONTAN : Man! Sudah kubilang, jangan ceritakan hal itu. Saya kepingin panjang umur.
PAIJAH : (BANGKIT DARI PINGSANYA, TERHUYUNG MENUJU BANGKU)
SOLEMAN : Tak jadi kau bunuh saya?
MAT KONTAN : Tidak tahu. O, Man! Kalau tidak tentu saya sudah mati sekarang ini dalam tanah. Saya kelelep di pasir dan tak dapat melihat dunia merdeka ini.
SOLEMAN : Tapi saya tak rela selesai seperti ini.
MAT KONTAN : (BERKATA SESUATU TAK JELAS)

IA MENUJU KE PINTU, LALU DI PINTU IA TERHENTI. SUARANYA MENGAMBANG UNTUK SOLEMAN DAN PAIJAH

MAT KONTAN : (MENGAMBIL GOLOK, MENYARUNGKANNYA). Kalian tak usah saya bunuh. Karena banyak lagi perempuan di dunia ini (SETENGAH MENANGIS) Leman! Ambillah paijah biniku itu karena kau telah merampasnya. (KEPADA PAIJAH) Paijah! Ambillah soleman karena sahabat saya itu telah merampasmu!

MAT KONTAN AKAN MASUK KE RUMAH, TAPI TAK JADI

MAT KONTAN : Tak usahlah, tak usahlah pamit pada si kecil. Karena dia bukan darah daging, bukan anak saya. (BERTERIAK SEDIH). Ambillah oleh kalian! Telah kalian rampas seluruh kepunyaan saya!

XI

SEPERTI ANAK KECIL MAT KONTA MENGHAPUS AIR MATANYA DENGAN SARUNGNYA. INGUSNYA KELUAR DAN IA MEMBERSIHKAN INGUS ITU DENGAN BERKATA SESUATU YANG TAK JELAS. JALANNYA BONGKOK, BERHENTI IA DI TEMPAT KELAM.

MAT KONTAN : Saya akan pulang ke kampung kelahiran saya. Malam ini juga. (HILANGLAH MAT KONTAN)

UTAI YANG MUNCUL DISUDUT RUMAH MAT KONTAN HANYA TERDUDUK MEMPERMAINKAN PASIR. IA TAK DILIHAT OLEH PAIJAH MAUPUN SOLEMAN

SOLEMAN : (MEMBANTING GOLOKNYA)
PAIJAH : Man.
SOLEMAN : (TAK MENJAWAB DAN DUDUK DI BANGKU RUMAHNYA)
PAIJAH : Man..............
SOLEMAN : (SEPERTI MENYESAL, TAPI TIBA-TIBA TERSENTAK SEHINGGA PAIJAH KAGET). Barangkali ia bunuh diri, Jah! Saya akan susul..............
PAIJAH : Jangan tinggalkan saya! (MEMELUK SOLEMAN) Jangan tinggalkan saya Man!

UTAI TIBA-TIBA BERDIRI DAN TERTAWA PENDEK. KEDUA MEREKA TERKEJUT SEHINGGA DEKAPAN ITU LEPAS. UTAI SEGERA LARI KE ARAH MAT KONTAN PERGI

PAIJAH : (MENAHAN SOLEMAN) Jangan Man!
SOLEMAN : Ia sahabat saya, Jah. Saya tak mau biarkan dia mati begituan. Saya pulangkan dia pada kau, karena kau bukan hak saya yang syah!
PAIJAH : Leman! Jangan kau tinggalkan saya dan anak kita!
SOLEMAN : (MENDENGAR SUARA TANGIS BAYI). Jah.......
PAIJAH : Anak itu sebaiknya kita bawa ke dukun.
SOLEMAN : Bawa ke Pak Mangun.


MEREKA MASUK KEDALAM PINTU RUMAH PAIJAH, BAYI ITU MASIH MENANGIS

XII

SOLEMAN MUNCUL KEMBALI DAN KELUAR, TERDENGAN SUARA TAWA DARI KEGELAPAN. MAT KONTAN DENGAN GOLOKNYA BERSAMA UTAI. KETIKA MAKIN DEKAT SOLEMAN MELIHATNYA DENGAN GELISAH DAN GUGUP MEMANDANG GOLOK YANG TADI DIBANTINGNYA KE TANAH
MAT KONTAN : (TERTAWA) Ha! Kau kira saya mau begitu saja meniyerahkan bini saya buat kamu? Hei, ajudan kecil bagaimana?
UTAI : Terus! Pukul saja!
MAT KONTAN : Kau kira siapa saya? Kau kira bisa ke Jawa begini malam? Kau kira kapan saya pulang ibu bapak saya tidak akan membawa anak bini? Kau kira saya juga tak kepingin senang dengan keluarga?
UTAI : Terus! Bacok saja!
MAT KONTAN : Nanti dulu Tai! Biar kita lihat dia ketakutan.
UTAI : Jangan biarkan dia lari.
MAT KONTAN : Hadang sana (KEPADA SOLEMAN) saya ke pantai spesial mengasah golok Cibatu ini buat diasah di kepalamu yang penuh najis itu! Dan saya melaporkan bahwa kau berpelukan dengan Paijah, huh!

SOLEMAN MELIHAT UTAI MENGAMBIL GOLOK YANG DI TANAH. PAIJAH MUNCUL DI PINTU TAPI MASUK KEMBALI. SEMUA MENDENGAR SUARA KERETA APAI MENDERU MAKIN MENDEKAT. SOLEMAN MENCARI KELUAR. TIBA-TIBA IA SUDAH MELOMPAT SAJA KESAMPING UATAI DAN MENGHILANG. UTAI MEMBURU DISUSUL OLE MAT KONTAN, KETIGANYA TELAH TERTELAN GELAM MALAM.

XIII

PAIJAH YANG MUNCUL DIPINTU MENAHANTANGISNYA. KEPALA ANAKNYA TERUS DIUSAPNYA BIARPUN SI ANAK TERUS MENANGIS. SUARA UBRUK DI KEJAUHAN MAKIN KERAS, TAPI KEMUDIAN SEPI KETIKA TAWA MAT KONTA SEMAKIN MENDEKAT. PAIJAH MENCOBA MENABAHKAN KETAKUTANNYA

MAT KONTAN : (NAFASNYA MASIH TERENGAH) Jah!
PAIJAH : (HERAN) Tan! Jangan bunuh kami, Tan!
MAT KONTAN : (MENGGELENG) Bodoh saya kalau membunuh kau dan anak ini (DIDEKAPNYA BININYA) Jah! (IA MENANGIS) Kau tahu Jah? Kau tahu si Utai patah lehernya?
PAIJAH : Ha?
MAT KONTAN : Ia ditendang soleman jahanam itu ketika Utai menangkapnya. Tapi Soleman selamat sampai ke gerbong kereta api. Jahanam itu selamat. Saya sempat memukul kepalanya dua kali, Jah. Ia selamat, Ia lolos, Jah. Tapi pikirannya akan selalu diburu!

BAYI MENANGIS

MAT KONTAN : Bawa ke dalam nanti masuk angin lagi!
PAIJAH : (HERAN MEMANDANGI MAT KONTAN)
MAT KONTAN : Kenapa kau lihat saya seperti itu? Apa saya ini macan?
PAIJAH : Si Utai, Tan.
MAT KONTAN : Apa boleh buat dia mati. Kalau hidup tentu ia akan menyebarkan berita kerusuhan kita ini. Kita mesti rahasiakan ini, Jah!

XIV

DARI JAUH KALENG SUSU TUKANG PIJAT JELAS MENDEKAT. IA MUNCUL KETIKA PAIJAH MEMBAWA BAYINYA MASUK

MAT KONTAN : Jangan bikin ribut! Anak saya makin sakit!
TUKANG PIJAT : Tan! Kau dicari-cari orang, Tan. Si Utai mati kau tahu?
MAT KONTAN : Ssssst! Jangan berisik. Saya mau pergi mencari dukun.
TUKANG PIJAT : Kabarnya Soleman berkelahi dengan kamu tadi ya? Soal apa?
MAT KONTAN : (MAKIN JAUH AKAN PERGI) Dia mencuri burung saya dan uang saya. Ssssst. Jangan berisik...........(MENGHILANG)
TUKANG PIJAT : Punya anak satu kayak selusin saja. Kontaaaaaan, Kontaaaan (IA TERCENUNG MELIHAT MAT KONTAN MAKIN JAUH)

XV

TANGIS BAYI YANG MAKIN MENINGGI MENYEBABKAN TUKANG PIJAT ITU MENDEKAT. TAPI KEMUDIAN TANGIS ITU TERHENTI DI DALAM PUNCAKNYA. TERDENGAR RAUNG PEREMPUAN DI DALAM. KEMUDIAN PINTU TERHEMPAS KELUARLAH PAIJAH DALAM RAMBUT KUSUT MASAI. HAMPIR MENABRAK TUKANG PIJAT. TANGIS PAIJAH TERDEKAM KE DADANYA. BERHENTI IA MENANGIS DARI TEMPAT KELAM ITU. LAMBAT IA BERJALAN MENUJU TUKANG PIJAT, SETENGAH BERTERIAK.

PAIJAH : .......Pak! Anakku mati Pak!

SITUA BELUM SEMPAT BERTANYA, PEREMPUAN ITU MELARIKAN DIRI KE ARAH MAT KONTAN TELAH MENGHILANG.


SELESAI


TELUKBETUNG. 1-VI-1958
-
MALAM JAHANAM
KARYA: MATINGGO BOISJE